Selasa, 09 Desember 2008

Bersyukur Karena Sakit, Bagaimana bisa ??


Di sebuah kota yang terkenal dengan kota pahlawan dan juga mungkin beberapa daerah termasuk daerah Anda kini mulai beralih musim, dahulunya cuaca panas yang membuat kita membutuhkan air yang menyegarkan dan menghilangkan dahaga, kini gerimis mulai datang sekalipun terkesan tidak diundang. Kita pun tidak lupa untuk mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, berdzikir kepadanya “Allahumma shoyyiban naafi’a“, Yaa Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat. Pergantian musim ini biasanya disebut dengan istilah “pancaroba”, sudah maklum diketahui setiap musim, bahwa setiap musim pancaroba datang maka tidak sedikit ummat Islam yang diberi ujian oleh Allah berupa sakit mulai dari sakit-sakit yang ringan seperti flu, demam, batuk sampai sakit yang cukup berat semisal demam berdarah. Di satu sisi ini merupakan ujian yang Allah berikan kepada kita, apakah kita menghadapinya dengan murka, bersabar, ridlo, atau bahkan bersyukur dengan panyakit yang menimpa kita. Inilah empat tingkatan ketika seseorang ditimpa musibah.

Ketika seseorang di beri ujian oleh Allah dengan penyakit yang menyapa dirinya mereka akan murka, marah-marah, jengkel kepada Rabb-nya atas apa yang ditimpakan kepada dirinya. ini hukumnya haram bahkan dapat menyeret seorang hamba kedalam kekufuran, wal’iyyadzubillah. Allah berfriman,

“Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keaadaan itu, dan jika ditimpa suatu bencana berbaliklah ia ke belakang. Ia rugi dunia dan akhirrat” [Al-Hajj : 11]

Dan ketika dia bersabar dalam menghadapai ujian ini, Maka orang ini akan melihat bahwa suatu musibah itu berat, namun ia tetap menjaga imannya sehingga tidak marah-marah, meski ia berpandangan bahwa adanya musibah itu dan ketiadaannya tidaklah sama. Ini hukumnya wajib karena Allah Ta’ala memerintahkan untuk bersabar. seperti kata penyair, bahkan orang sabar itu pahit rasanya tetapi lebih manis akibatnya dari pada madu.

Allah berfirman,

“Bersabarlah kalian, sesunguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar” [ Al-Anfal : 46]

Tingkatan yang ketiga adalah ridlo atas ujian ini, Yakni manusia ridlo dengan musibah yang menimpanya. Ia berpandangan bahwa ada dan tidaknya musibah sama saja baginya, sehingga adanya musibah tadi tidak memberatkannya. ia pun tidak merasa berat memikulnya. Ini dianjurkan dan tidak wajib menurut pendapat yang kuat. Perbedaan tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya nampak jelas karena adanya musibah dan tidak adanya sama saja dalam tingkatan ridlo. Adapun pada tingkatan sebelumnya, jika ada musibah dia merasakan berat, namun ia tetap bersabar.

Dan yang tingkatan tertinggi adalah orang yang justru bersyukur ketika ditimpa musibah, yang menjadi heran bagi kita, mengapa kita justru bersyukur ketika ditimpa ujian dengan panyakit yang menyapa kita ? maka jawabnya bahwa orang yang bersyukur terhadap penyakit yang menimpanya karena dia yakin bahwa Allah mengampuni dan memaafkan dosa dan kesalahan kita lantaran penyakit tersebut. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit atau sejenisnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya, seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Bukhori)

Inilah motivasi supaya kita bersyukur akan ujian penyakit yang menimpa kita, kita meyakini sabda Nabi kita shalallahu’alaihi wa sallam di atas sehingga kita semakin bersyukur atas ujian penyakit yang ditimpa oleh kita. Bahkan hanya sekedar keletihan, kecapaian, atau tertusuk duri yang kecil, semua itu dapat menghapuskan dosa kita, sebagaimana sabdanya shallahu’alaihi wasallam.

“Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanaan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari).

Kamis, 04 Desember 2008

Menghargai Proses Diri Dan Orang Lain



“Life is an everlasting learning,
learn how to be honest to your own heart
and learn to have a big opened heart to love deeply
and to forgive quickly.”
[Anonymous]




Hidup Adalah Sebuah Proses…
Hidup adalah sebuah proses. Sebuah proses dari kita tidak mengerti apa-apa, yang saat itu, kita masih sangat bergantung pada Ibunda kita. Sampai sekarang. Ya, sampai saat ini. Sampai telah banyak yang kita ketahui tentang kehidupan. Meskipun masih banyak hal yang belum kita ketahui.
Setiap manusia itu berbeda-beda. Tiap-tiap kita pastilah mempunyai keunikan sendiri. Serta mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita, bisa sampai kepada titik dimana sudah banyak yang kita ketahui tentang kehidupan, tak lain berasal dari proses belajar. Waktu balita kita belajar agar bisa berbicara. Belajar supaya kita bisa berjalan. Belajar bagaimana kita bisa mengucapkan terimakasih kepada Ayah dan Ibu kita. Waktu kecil, ketika kita belajar berjalan…lalu terjatuh…bangkit lagi, kemudian terjatuh lagi… lalu bangkit lagi…dan begitu seterusnya. Orangtua pun tidak menyalahkan kita atas jatuhnya kita. Justru sebaliknya, mereka selalu menyemangati kita untuk tetap berusaha agar bisa lancar berjalan. Bila kita terjatuh, mereka membantu… Bila kita menangis, mereka menenangkan dan menghibur kita… Mereka tidak mengejek kita karena belum bisa berjalan. Mereka, juga tidak pernah meremehkan kita karena sering terjatuh sewaktu belajar berjalan. Karena mereka, adalah orang-orang yang selalu menghargai proses belajar kita.
Tapi kini, ketika sudah beranjak dewasa. Mengapa sulit sekali bagi kita untuk menghargai proses diri dan orang lain? Ketika kita sudah mendapat ilmu yang lebih, baik ilmu dunia maupun ilmu agama, mengapa dengan ilmu yang kita miliki, malah membuat kita lebih mudah menghakimi orang lain? Padahal setiap orang membutuhkan proses yang berbeda-beda. Padahal, proses belajar kita tidaklah sama…
Kita Semua Belajar Dari Kesalahan…
“Lihatlah si fulanah, pakai jilbab koq pendek dan ketat gitu”. “Lihatlah si fulan, sudah tau hukumnya menjaga pandangan, tapi koq pandangannya malah gak dijaga!”. Ahhhh…iya, si fulan dan di fulanah tadi memang belum bisa menjalankan syari’at dalam hal berpakaian dan menjaga pandangan. Tapi, apakah berarti kita mempunyai hak untuk men-judge mereka? Apakah berarti kita punya hak untuk meremehkan atau mengejek mereka? Padahal perbedaan kita dan mereka adalah kita sudah mengetahui tentang hukum syar’i dan biiznillah, kita bisa melaksanakan aturan tersebut dengan baik. Sedangkan mereka, mungkin belum mengetahui tentang apa-apa yang sudah kita ketahui. Atau mungkin, mereka sudah tau, tapi mereka masih butuh proses untuk itu. Salahkah mereka? Wallahu a’lam. Toh setiap manusia tak lepas dari kesalahan. Kita semua belajar dari kesalahan.
Karena Setiap Orang Berbeda. Maka Jangan Disamakan…
Lantas, apa yang harus kita lakukan..agar mereka bisa mendapatkan ilmu yang telah kita ketahui lebih dulu disbanding mereka? Jawabannya adalah mudah, berikanlah contoh dan nasihat yang baik . Sering kali, mungkin tidak kita sadari, tauladan yang baik itu lebih baik dari 1000 nasihat sekalipun.
Jangan Asal Menasehati…
Sayangnya, banyak dari kita yang “asal” dalam menasehati. Mungkin cara kita yang kurang lemah lembut, atau tidak dengan hikmah yang baik dalam penyampaiannya. Ataukah, kita salah dalam “memilih” orang untuk kita nasehati . Bayangkan, jika kita melakukan kesalahan yang sebenarnya kita tau bahwa itu salah, tapi terpaksa kita lakukan atau banyak faktor yang membuat kita akhirnya terjatuh dalam kesalahan. Atau mungkin, kita memang masih dalam proses untuk keluar dan bangkit dari kesalahan yang kita lakukan. Tiba-tiba, ada orang yang ujug-ujug menasehati kita. Seolah-olah dialah yang paling tau tentang masalah kita. Seolah-olah, dia yang paling tau soal kondisi kita. Dan seolah-seolah ialah yang paling benar.
Nasihat yang diberikan mungkin memang adalah nasihat yang baik. Tapi kalau caranya tidak baik dan tidak pas diberikan ke kita, dalam waktu, situasi, kondisi..dan bukan diberi nasihat oleh orang yang tepat. Bisa jadi justru nasihat tersebut di tolak mentah-mentah dan si penerima nasihat malah menjauhi si pemberi nasihat dan apa-apa yang “diberikan” oleh si pemberi nasihat.
Misalnya contoh mudahnya adalah ketika kita mengetahui sahabat terdekat kita melakukan kesalahan, apakah lantas kemudian kita langsung menghakiminya? Apakah kita langsung menjauhinya? Dan apakah kita mempunyai hak untuk menjelek-jelekannya…? Tentu saja tidak. Karena setiap orang mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Mungkin saja kelemahan kita pada suatu hal adalah kelebihan orang lain. Dan sebaliknya, mungkin saja kelebihan kita dalam suatu hal, adalah merupakan titik lemah orang lain. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan yang pertama kali adalah memberikan contoh yang baik. Kalau pun masih belum “mempan”, ya berikanlah nasihat, dengan sebelumnya jalinlah komunikasi yang baik, untuk mengetahui sebab muasal kenapa ia bisa berbuat kesalahan tsb. Benar begitu? Dan jika belum diterima dan dilaksanakan juga nasihat kita, maka bersabarlah. Serta senaniasa mendo’akan sahabat kita agar Allah membukakan pintu hatinya. Sungguh, hanya Allah Pembolak-balik hati manusia.
Qulil Haqqo Walau Kaana Murron…
Pernah dengar kalimat diatas? Yang berarti : “katakan yang benar walaupun pahit..” Ya, terkadang..kita memang harus mengatakan sesuatu yang benar, meskipun itu ‘pahit’. Namun, apakah jika kita sudah mengetahui pil pahit itu akan kita berikan ke orang lain, lantas cara yang kita gunakan juga mesti ‘pahit’ juga? Ibarat akan menelan pil pahit, kita sering menambahkannya dengan madu. Ataukah mencampurkannya dengan buah pisang, agar pahitnya pil tidak begitu terasa. Seperti halnya memberi nasihat, jika sudah tahu nasihat yang akan kita berikan itu ‘pahit’ bagi sang penerima. Apa caranya mesti ‘pahit’ juga? Tentu tidak bukan?
“Sesungguhnya tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti menghiasinya.
Dan tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali akan menjelekkannya.”
(HR. Muslim no. 2594)

Semoga Allah menghimpun kita dalam kebaikan dan kebenaran…