Jumat, 24 April 2009

Siapa Bilang Suap Haram ?


Istilah “suap” akhir-akhir ini kembali populer di negeri kita. Dalam pemakaian sehari-hari, suap sering diistilahkan dengan “uang pelicin” atau ”uang sogok”. Contoh praktisnya, seorang wartawan bisa saja tidak memberitakan kasus yang menyangkut masyarakat banyak ketika ia tergoda dengan iming-iming (suap) dari pihak yang berkepentingan dengan kasus tersebut. Seorang penjahat bisa bebas dari jerat hukum jika ia memberikan sekian juta rupiah kepada seorang hakim. Itulah sebagian realita yang terjadi di negeri kita.

Wahai saudaraku –semoga Allah ta’ala merahmatimu- lantas bagaimana pandangan Islam dalam hal ini? Faktor apa sajakah yang menyebabkan orang berani untuk melakukan suap-menyuap? Kapan suap-menyuap itu diperbolehkan? Bagaimanakah hukum orang-orang yang terkait dalam kasus ini ? Dalam bahasan kali ini insyaAllah Anda bisa menemukan jawabannya secara jelas dan terperinci. Semoga bermanfaat.

Pengertian Suap

Ibnu Atsir rahimahullah mengatakan bahwa suap (risywah) berarti sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara yang dibuat-buat (tidak semestinya). (an-Nihayah Fi Gharibil Hadits kar. Ibnu al-Atsir: 2/546)

Al-Fayyuni rahimahullah mengatakan (Misbah al-Munir 1/228): ”Suap adalah sesuatu yang diberikan seseorang pada seorang hakim atau selainnya supaya memutuskan hukum baginya atau memenuhi apa yang ia inginkan.

Dari beberapa pengertian tersebut bisa kita simpulkan bahwa suap adalah harta yang diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk memperoleh keuntungan maupun menghindari kerugian/ bahaya) yang semestinya harus diselesaikan tanpa imbalan.

Mengapa Suap-Menyuap Dilakukan Orang

Sederhananya banyak sekali hal-hal yang mendorong seseorang untuk melakukan suap-menyuap tetapi disini akan kami sebutkan beberapa saja diantaranya:

1. Lemahnya iman dan taqwa seseorang. Karena keduanya merupakan kunci utama bagi seseorang untuk mengendalikan hawa nafsunya. Oleh karena itu tidaklah seseorang itu berbuat maksiat kecuali ketika imannya sedang lemah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

“Tidaklah seseorang itu dalam keadaan beriman secara sempurna ketika berbuat zina, dan tidaklah seseorang itu dalam keadaan beriman secara sempurna ketika minum khamar.” (HR. Al-Bukhori: 2475)

2. Sifat tamak dan rakus dan kenikmatan dunia. Hal ini sangat berpengaruh terhadap diri seseorang karena bisa menjadikannya menghalalkan segala macam cara untuk memenuhi keinginannya.

3. Gila akan jabatan dan kehormatan di masyarakat, sehingga ia rela mengorbankan apapun demi mendapatkannya.

Hukum Suap

Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsirnya (6/119) mengatakan bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang keharaman risywah (suap). Bahkan banyak diantara mereka yang menukil adanya ijma’ akan keharamannya, seperti yang dinukil oleh imam asy-Syaukani rahimahullah (Nailul Author 4/595), Imam ash-Shon’ani rahimahullah (Subulus salam 1192), syaikh Alu Bassam hafidzahullah (Taudhihul Ahkam 7/118), dll

Banyak sekali dalil yang menjelaskan keharamannya baik dari al-Quran maupun as-sunnah:

1. Surat al-Maidah: 42

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ

”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka……”

Umar bin Khaattab radliyallahu’anhu, Ibnu mas’ud radliyallahu’anhu dan lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan اَلسُّحْتُ adalah risywah (suap-menyuap)[1]. Hal ini semakna dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Baqarah: 188 yang menjelaskan haramnya memakan harta orang lain dengan cara dzalim.

2. Dalil dari sunnah (hadits) Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam banyak sekali, diantaranya:

Dari Abu Hurairoh radliyallahu’anhu beliau berkata: ”Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum.” (HR. Ahmad: 2/386, at-Tirmidzi: 1336, Ibnu Hibban: 1196, dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah: 3753)

3. Menyuap merupakan tindakan yang mendzalimi (merugikan) orang lain karena sebenarnya ia tidak berhak. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya dengan tegas telah melarang kita untuk berbuat dzalim terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Syaikh Abdulloh bin Abdurrahman al-Bassam hafidzahullah mengatakan: ”Suap termasuk dosa besar karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melaknat orang yang menyuap dan yang mengambil suap sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali pada dosa-dosa besar. ” (Taudhihul Ahkam: 7/119)

Yang Dilaknat Karena Suap

Kalau kita cermati, ternyata hadits-hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam itu bukan hanya mengharamkan seseorang memakan harta hasil suap-menyuap akan tetapi beliau juga melarang hal-hal yang bisa menyebabkan terjadinya suap-menyuap. Maka yang mengharamkan itu bukan hanya satu perbuatan saja akan tetapi tiga perbuatan sekaligus. Yaitu: pemberi suap, penerima suap, serta orang yang menjadi penghubung antara keduanya. Hal ini sesuai dengan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad yang berbunyi:

”Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap serta orang yang menjadi penghubung antara keduanya.” (HR. Ahmad: 22452)

Hadits ini sanadnya dinilai dhoif (lemah) oleh para ulama hadits tetapi maknanya sesuai dengan larangan tolong menolong dalam perbuatan dosa[2]. Mustahil seseorang bisa memakan harta hasil suap kalau tidak ada yang menyuapnya. Sebab itu, orang yang menyuap pun mendapat laknat. Hal ini dikarenakan dengan sebab perbuatan dan inisiatif dialah maka ada orang yang makan harta dari suap-menyuap. Dan biasanya dalam kasus suap-menyuap seperti itu, ada pihak ketiga sebagai perantara yang bisa memuluskan proses terjadinya suap-menyuap. Sehingga ia juga berhak mendapatkan laknat dari Allah ta’ala.

Kapan Diperbolehkan Menyuap ?

Ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian ulama mengharamkan secara mutlak, sebagian yang lain memberikan pengecualian. Akan tetapi, yang rojih (kuat) –Wallahu A’lam- adalah bolehnya melakukan suap-menyuap dalam rangka mengambil hak yang menjadi miliknya. Hak tersebut tidak akan diberikan kepadanya kecuali jika ia harus memberi sejumlah uang kepadanya. Atau untuk menolak perbuatan dzalim yang akan mengancam dirinya dan ia tidak akan terhindar darinya kecuali ia harus memberikan sejumlah uang padanya. Maka dalam kasus seperti ini yang berdosa adalah yang mengambil suap tersebut sedangkan yang memberi tidak berdosa. Hal ini didasarkan pada apa yang diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah bahwasanya ia ditanya apakah suap itu diharamkan pada segala sesuatu, maka ia menjawab: ”Tidak, suap itu diharamkan jika engkau memberi sesuatu pada orang lain supaya engkau diberi sesuatu yang bukan hakmu atau supaya engkau bebas dari kewajibanmu. Adapun jika engkau menyuap dalam rangka membela agamamu, nyawamu, atau hartamu maka tidaklah haram”. Dan pendapat inilah yang diambil oleh Abu Laits as-Samarqondi rahimahullah, begitu juga Ibnu Mas’ud radliyallahu’anhu (Tafsir al-Qurthubi: 6/120)

Penutup

Wahai saudaraku –semoga Allah ta’ala senantiasa menunjuki kita ke jalan-Nya yang lurus- kita hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Ingatlah akan kehidupan yang lebih kekal dan abadi. Jadikanlah dunia ini sebagai sawah ladangmu dalam beramal kebaikan demi kebahagiaan dalam kehidupan mendatang. Janganlah engkau terperdaya dengan indahnya serta manisnya dunia. Jangan biarkan anak-anakmu tumbuh dan berkembang dengan harta yang haram. Tinggalkanlah kebiasaan buruk ini (suap-menyuap). Segera bertaubatlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena kematian akan menghampirimu sewaktu-waktu. Syukurilah apa yang telah Allah ta’ala berikan kepadamu serta tanamkanlah sifat qona’ah (menerima apa adanya) pada diri dan keluargamu. Bersabarlah dengan sedikitnya harta yang engkau miliki. Ingatlah bahwasanya ukuran kemuliaan seseorang itu bukan terletak pada banyaknya harta dan tingginya kedudukan. Akan tetapi, orang yang paling mulia di sisi Allah ta’ala adalah orang yang paling bertaqwa diantara kalian. Allahu a’lam bish showab.

Sumber: Buletin al-Furqon Vol.12 no.3 Tahun ke-3, Rabiul Akhir 1430 H


[1] Lihat Tafsir al-Qurthubi: 6/119

[2] Lihat QS. Al-Maidah: 3