Rabu, 17 September 2008

mahasiswa??


SETIAP momentum perubahan di berbagai belahan dunia selalu menempatkan mahasiswa sebagai sumber energi, pelaku dan pendukung utama. Sebut saja, Revolusi Rusia tahun 1905 dan 1917, Revolusi Jerman 1918-1923, Revolusi Spanyol 1936, Revolusi Hongaria 1919 dan 1956, Revolusi China 1925-1927, Revolusi Aljazair 1954, Revolusi Turki 1960, Revolusi Korea Selatan 1960, Revolusi Yunani 1965, Revolusi Portugal 1974, hingga Revolusi Islam Iran 1979, semuanya melibatkan partisipasi aktif mahasiswa, baik sebagai penggagas, perekayasa, aktor atau sekadar penyokongnya.

Begitu pula momentum kebangkitan di Indonesia, seperti kelahiran Budi Utomo 20 Mei 1908 sebagai fundamen pertama kebangkitan nasional, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, kemunculan Orde Baru 1966, serta Reformasi Mei 1998, semuanya dimotori oleh mahasiswa. Fakta sejarah inilah yang menjadikan mahasiswa sering dijuluki sebagai agent of change (agen perubahan) atau motor kebangkitan.

Hal serupa juga terungkap manakala kita membedah fenomena kebangkitan Islam di berbagai negara sejak abad ke-20 Masehi. Kebangkitan Islam di Mesir, Turki, Aljazair, Yaman, Yordania, Malaysia atau Indonesia, yang ditandai dengan menguatnya posisi umat Islam di bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan lainnya, tak bisa dilepaskan dari kiprah mahasiswa. Para pengamat dunia Islam, seperti Fazlur Rahman, John Esposito dan Bruce Lawrence sewaktu berkunjung ke Indonesia menemukan bahwa kebangkitan Islam di Indonesia yang cukup progresif sejak era 1980-an itu ditandai tumbuhnya semangat keislaman, maraknya syiar Islam dan hadirnya berbagai aliran pemikiran, khususnya di kampus-kampus.

Di sinilah, tulisan Aminullah Yunus berjudul "Memahami Kebangkitan Gerakan Islam Kampus" (SM, 8/10) menarik untuk ditanggapi. Ada dua hal yang penulis garisbawahi dari artikel Aminullah. Pertama, geliat kebangkitan Islam di kampus sebagai resistansi terhadap dampak negatif modernisasi. Kedua, kiprah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sebagai representasi generasi Islam baru, yang banyak mengambil peran dalam berbagai momentum dan dinamika kampus selama lima tahun belakangan.

Jatidiri Mahasiswa

Kenapa mahasiswa selalu menjadi aktor penting dalam setiap perubahan bangsa? Tak lain karena mahasiswa memiliki sifat mendasar dan jatidiri yang unik. Sifat mendasar mahasiswa terletak pada jiwa mudanya yang idealis, dinamis, kreatif, antikemapanan, serta resah terhadap ketidakberesan. Sifat mendasar ini sinergis dengan jatidiri mahasiswa sebagai anak didik dan anak bangsa.

Sebagai anak didik, mahasiswa harus tekun belajar, rajin membaca, berpikir dan berdiskusi, suka meneliti, serta aktif dalam banyak forum ilmiah, sehingga menguasai disiplin ilmunya dan berwawasan luas. Namun jiwa mudanya protes dan memberontak begitu melihat kenyataan di masyarakat tak sesuai dengan apa yang dipelajarinya.

Apalagi mahasiswa juga anak bangsa, yang harus peduli terhadap nasib bangsanya. Mahasiswa sejati akan selalu resah bila melihat kezaliman dan ketidakadilan. Karena itulah, mahasiswa sampai kapan pun akan selalu menjadi pemain penting dalam setiap perubahan masyarakat.

Keresahan dan kepedulian seperti itulah yang melandasi para aktivis Lembaga Dakwah Kampus (LDK) se-Indonesia membentuk KAMMI di Malang, 28 Maret 1998. Kelahiran KAMMI lewat Deklarasi Malang tak bisa dipisahkan dari konteks sejarah Indonesia saat itu yang tengah dilanda krisis kepemimpinan, ekonomi, sosial, politik dan keamanan, menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Aktivis LDK yang disebut-sebut sebagai ikon kebangkitan Islam di kampus terpanggil untuk mengarahkan dan mengamankan proses perubahan Indonesia, dan sepakat membentuk KAMMI sebagai wadah perjuangannya. Hingga kemudian KAMMI tercatat sebagai salah satu motor gerakan reformasi Mei 1998.

Kutub Kebangkitan

Perjuangan KAMMI berangkat dari tiga kutub kebangkitan. Pertama, kutub revivalisasi. Revivalisasi lahir dari semangat ingin mengambil ajaran Islam secara murni dengan merujuk langsung kepada orisinalitas dan integralitas Islam generasi pertama. Revivalisasi adalah upaya membangun kembali Islam secara kaffah sebagaimana diajarkan dan diteladankan Nabi Muhammad SAW.

Semangat kembali kepada ajaran salaf (generasi awal Islam) ini merupakan perlawanan atas sekularisasi yang telah menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya serta memunculkan pemikiran dan praktik keislaman yang parsialistik. Karena itulah, revivalisasi KAMMI ingin membangun Islam secara utuh mencakup seluruh aspek kehidupan.

Kedua, kutub adaptasi. Islam di mata KAMMI bukanlah dogma beku, kolot, antiperubahan atau kontra-modernisme. Islama adalah ideologi dinamis yang menyeimbangkan antara hal-hal yang tetap (ats-tsawabit) dan fleksibel (mutaghayyirat) , karena Islam pada dasarnya idealita yang hanya bermakna bila direalisasikan di alam nyata. Jalaludin Rakhmat (1991) berpendapat, kekuatan kaum muslim terletak pada tindakan mereka, bukan pada teks-teks suci yang mereka yakini. Di mata Sayyid Quthb (Lee, 2000), kesejatian seorang muslim bukanlah pada apa yang mereka pikirkan atau percayai, melainkan apa yang mereka perbuat di dunia ini. Pada kenyataannya, penerapan Islam di alam realita ini membutuhkan adaptasi-adaptasi.

Karena itu, semangat kembali kepada ajaran salaf yang didakwahkan KAMMI sangat welcome terhadap dinamika zaman di era khalaf (mutakhir). KAMMI sependapat dengan ulama kontemporer Syekh Yusuf Qordhowi bahwa pembumian Islam dari ranah idealita ke ranah realita di era modern harus memperhatikan tiga konsepsi pemahaman: fiqhul waqi'i (pemahaman atas realitas), fiqhul aulawiyat (pemahaman atas prioritas kebutuhan) dan fiqhul muwazanat (pemahaman atas perkembangan zaman). Ketiga pemahaman tersebut menjadikan dakwah Islam tampil rasional dan realistis, selaras dengan esensi modernisasi yang dikemukakan Nurcholish Madjid, yakni rasionalisasi.

Masyarakat Islam

Kutub ketiga adalah visi. Visi KAMMI adalah membentuk masyarakat Islami di Indonesia. Umat Islam memang mayoritas di Indonesia, tapi hanya mayoritas statistik, bukan mayoritas substantif. Dua islamicist Barat, Van Leur dan Hefner, pernah melakukan studi Islam di Indonesia. Van Leur (Azra, 1999) berkesimpulan, Islam Indonesia hanyalah "lapisan tipis di atas permukaan budaya Jawa". Kesimpulan Hefner (2000) lebih menyindir lagi, bahwa Islam di Indonesia adalah satu lapisan budaya yang tipis atau sesuatu yang terletak di atas sedimen lebih tebal dari Hindu, Buddha dan animisme. Tidakkah umat Islam negeri ini malu dengan "sindiran" itu? Bila umat Islam Indonesia yang jumlahnya terbesar di dunia ini tidak segera bangkit, bagaimana mungkin bisa memimpin kebangkitan Islam di dunia, seperti harapan umat Islam di banyak negara?

Obsesi masyarakat Islami akan KAMMI wujudkan secara gradual dan sistematis dengan merealisasikan misi-misi KAMMI sebagai pelopor, perekat dan pemercepat perubahan, memberikan pelayanan sosial, serta memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Visi-misi tersebut kembali dikokohkan dalam Muktamar Nasional KAMMI Ke-4 di Samarinda, 26 September-2 Oktober 2004 lalu, dalam rumusan rencana strategis pengejawantahan selama lima tahun ke depan.

Sinergi kutub revivalisasi-adaptasi-visi merupakan harmoni kesadaran kolektif akan sejarah masa lalu, realita masa kini dan obsesi masa depan. Dari perpaduan sinergis itulah, KAMMI bangkit untuk membangkitkan umat Islam Indonesia dari tidurnya yang panjang, dan bersama seluruh elemen umat Islam menjadikan Islam mewujud-merahmati kehidupan dan kembali memimpin peradaban. Insya Allah.[]

(dimuat di Suara Merdeka, 26 Oktober 2004)

Tidak ada komentar: