Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi-Nya. Dia-lah Rabb kita, Yang Menciptakan, Memberi Rizki dan Mengatur urusan hamba-Nya. Dia-lah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Segala sesuatu kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, tidak sepatutnya bersedih. Mengapa? Karena kita punya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Zat yang mengatur urusan hamba-Nya.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada sebaik-baik pendidik, yang telah mengajari kita untuk memaknai kehidupan dengan pemaknaan fitri (sesuai dengan fitrah). Sehingga dengan pemaknaan itu kita dapat merasakan kehidupan yang indah. Dialah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam. Shalawat kepadanya, kepada sahabatnya, keluarganya, serta umatnya yang meniti jalan kebahagiaan dunia akhirat.
Bersedih, Bolehkah?
Pada momen tertentu kesedihan memang tidak dapat dihindari dan seseorang terpaksa harus bersedih karena suatu kenyataan. Oleh karena itu, ketika seorang hamba ditimpa kesedihan hendaknya ia senantiasa melawannya dengan doa-doa dan sarana-sarana lain yang memungkinkan untuk mengusirnya.
Doa-doa untuk mengobati kesedihan dapat dibaca dalam Hisnul Muslim”, karya Dr. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani. Adapun sarana-sarana lain untuk mengusir kesedihan akan kita ikuti ulasannya beberapa saat lagi.
Kesedihan yang terpuji — yakni yang dipuji setelah terjadi — adalah kesedihan yang disebabkan oleh ketidakmampuan menjalankan suatu ketaatan atau dikarenakan tersungkur dalam jurang kemaksiatan. Dan kesedihan seorang hamba yang disebabkan oleh kesadaran bahwa kedekatan dan ketaatan dirinya kepada Allah sangat kurang. Maka, hal itu menandakan bahwa hatinya hidup dan terbuka untuk menerima hidayah dan cahaya-Nya.
Contoh konkret kesedihan ini adalah kisah tiga sahabat yang tidak mengikuti perang Tabuk tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Mereka adalah Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah. Mereka merasakan kesedihan yang berlipat-lipat seolah-olah bumi telah menjadi sempit dan jiwa mereka pun terasa sempit.
Sementara itu, makna sabda Rasulullah dalam sebuah hadis shahih yang berbunyi, "Tidaklah seorang mukmin ditimpa sebuah kesedihan, kegundahan dan kerisauan, kecuali Allah pasti akan menghapus sebagian dosa-dosanya," adalah menunjukkan bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan itu merupakan musibah dari Allah yang apabila menimpa seorang hamba, maka hamba tersebut akan diampuni sebagian dosa-dosanya. Dengan begitu, hadits ini berarti tidak menunjukkan bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan merupakan sebuah keadaan yang harus diminta dan dirasakan.
Hal ini nampak dari kesedihan Ummul Mukminin, ‘Aisyah binti Abu Bakar yang merasakan kesedihan luar biasa ketika difitnah serong. Kesedihan yang beliau rasakan merupakan ujian yang Allah berikan kepadanya untuk menambah pahala dan mengangkat derajat beliau. Allah berfirman, “...Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu...” (QS. An-Nuur: 11)
Akan tetapi seorang hamba justru tidak dibenarkan meminta atau mengharap kesedihan dan mengira bahwa hal itu merupakan sebuah ibadah yang diperintahkan, diridhai atau disyariatkan Allah untuk hamba-Nya. Sebab, jika memang semua itu dibenarkan dan diperintahkan Allah, pastilah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam akan menjadi orang pertama yang akan mengisi seluruh waktu hidupnya dengan kesedihan-kesedihan dan akan menghabiskannya dengan kegundahan-kegundahan. Dan hal seperti itu jelas sangat tidak mungkin. Karena, sebagaimana kita ketahui, hati beliau selalu lapang dan wajahnya selalu dihiasi senyuman, hatinya selalu diliputi keridhaan, dan perjalanan hidupnya selalu dihiasi dengan kegembiraan (lihat Al-Qarni, 2006: 49-50)
Menyibukkan diri dalam kegiatan yang positif
”Bunuhlah setiap waktu kosong dengan 'pisau' kesibukan! Dengan cara itu, dokter-dokter dunia akan berani menjamin bahwa Anda telah mencapai 50% dari kebahagiaan. Lihatlah para petani, nelayan, dan para kuli bangunan! Mereka dengan ceria mendendangkan lagu-lagu seperti burung-burung di alam bebas. Mereka tidak seperti Anda yang tidur di atas ranjang empuk, tetapi selalu gelisah dan menyeka air mata kesedihan” (Al-Qarni, 2006: 15)
Jadilah orang yang bermanfaat untuk orang lain
Bukankah Nabi r telah memberitahu kita bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain? Beliau telah berkata benar, karena beliau adalah Ash-Shadiqul Mashduq (yang berkata benar dan yang dibenarkan).
“Kebutuhan orang lain kepada diri Anda adalah sebuah nikmat, maka jangan pernah bosan menghadapinya, karena bisa berakibat berbalik menjadi bencana. Ketahuilah, bahwa yang terbaik dari hari-hari Anda adalah ketika Anda menjadi tujuan, dan bukan Anda yang menuju orang lain” (Al-Qarni, 2006: 531)
Menyikapi masa lalu, masa kini, dan masa depan
Dalam benak kita, selalu terbayang tentang tiga fase kehidupan, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Menyikapi fase-fase itu merupakan kemampuan yang layak untuk dimiliki bagi orang yang ingin bahagia.
“Jika Anda harus mengingat masa lalu, maka ingatlah masa lalumu yang indah agar Anda gembira. Jika Anda mengingat hari ini, maka ingatlah apa yang telah Anda hasilkan, pasti Anda akan merasa gembira. Dan jika Anda melihat hari esok, maka ingatlah mimpi-mimpi Anda yang indah agar Anda optimis” (Al-Qarni, 2006: 550)
Dr. ‘Aidh Al Qarni, (2006: 254) telah banyak mengkaji banyak buku tentang kecemasan dan gangguan mental dari berbagai bacaan. Semuanya sepakat pada tiga pokok yang harus ditempuh oleh orang yang menginginginkan kesembuhan dan terhindar dari gangguan mental, serta hatinya menjadi lapang. Tiga pokok tersebut adalah:
Selalu mengaitkan hati kepada Allah, menyembah-Nya, taat dan berserah diri kepada-Nya.
Menutup berkas-berkas masa lalu dengan semua kegetirannya dan genangan air matanya, semua kesedihannya dan bencananya, semua kepahitan dan keresahannya. Dan, memulai sebuah kehidupan baru dengan hari yang baru pula.
Membiarkan masa depan yang masih gaib itu, tidak melarutkan diri di dalamnya, dan menjauhkan diri dari segala bentuk ramalan, prakiraan, dan ketidakjelasan. Tapi, hidup dalam lingkup hari ini saja.
Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Aidan (2008: 58-59) menyebutkan dua sikap yang hanya akan memberikan pengaruh yang negatif yaitu pertama, membolik-balik lembaran-lembaran masa lalu, mengingat-ingat kembali peristiwa-peristiwa yang memilukan, kegelisahan, kesedihan dan seterusnya. Dan kedua, memikirkan masa depan, dengan membayangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi dari berbagai kejadian dan masalah, lalu ia pun mulai merasakan ketakutan, kegelisahan, kekalutan, dan kepedihan, padahal semua itu belum terjadi sama sekali!
Beliau –Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Aidan— memberikan sikap bijak untuk menyikapi masa lampau, masa kini dan masa mendatang, yaitu:
Untuk masa lampau, cukuplah kita mengambil pengalaman dan pelajaran dari setiap peristiwa dan kejadian, lalu segera menutup file-file yang menyedihkan dan melipat lembaran-lembaran suram.
Untuk masa mendatang, maka ia adalah rencana yang matang, persiapan sebaik mungkin, disertai musyawarah, istikharah dan isti’anah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar seseorang tidak terjerumus dalam kesalahan yang akan menjadi penyesalan semata.
Untuk masa kini, maka ia adalah medan yang harus menjadi curahan perhatian dan konsentrasi, dengan memanfaatkan semua yang bisa dimanfaatkan...tiap jamnya, tiap menitnya, tiap detiknya, karena itulah yang ada di tangan kita saat ini. Sebaik apa kita bisa memfungsikan masa kini, maka sebaik itu pulalah kita memersiapkan masa mendatang, dengan izin dan bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Untuk menatap masa depan, saya sarankan untuk mengikuti pembahasannya dalam “Jangan Takut Menatap Masa Depan” oleh Abdul Aziz bin Abdullah al-Husaini (Pustaka At-Tazkia).
Be yourself!
”Hiduplah sebagaimana Anda diciptakan; jangan mengubah suara, menganti intonasinya, dan jangan pula merubah cara berjalan Anda! Tuntunlah diri Anda dengan wahyu Ilahi, tetapi juga jangan melupakan kondisi Anda dan membunuh kemerdekaan Anda sendiri” (Al-Qarni, 2006: 16)
Dari uraian di atas, dapat kita bedakan antara plagiat dengan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam). Di antara keduanya terdapat perbedaan yang besar. Pelaku plagiat mencontoh 100 % apa yang ada pada tokoh yang digandrunginya. Sedangkan pada ittiba’, pelakunya meneladani apa yang menjadi tuntunan Ilahi dan tidak melupakan apa yang telah menjadi potensi dirinya.
”Setiap manusia memiliki kelebihan, potensi dan bakat masing-masing. Dan, salah satu keagungan Rasulullah adalah kemampuannya untuk menempatkan setiap sahabatnya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan kesiapan mereka masing-masing. Ali misalnya, ditempatkan pada posisi kehakiman, Mu'adz dalam masalah keilmuan, Ubay yang menyangkut al-Qur'an, Zaid dalam masalah Faraidh, Khalid ibn Walid dalam persoalan jihad, Hassan dalam masalah syair, dan Qais ibn Tsabit dalam orasi.” (Al-Qarni, 2006: 115)
Jangan bersedih karena Anda adalah orang yang beriman
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl: 97)
Jangan bersedih karena Anda tidak dalam keadaan bermaksiat kepada-Nya
”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta" (QS. Thaha: 124).
Berbahagialah sekarang, Jangan tunggu besok ataupun lusa
“Orang yang menangguhkan kebahagiaan hingga anaknya yang hilang kembali, samapi rumahnya dibangun, dan hingga mendapatkan pekerjaan yang sesuai, maka ia tertipu oleh fatamorgana dan terperdaya oleh mimpi-mimpi di siang bolong” (Al-Qarni, 2006: 559)
Carilah pekerjaan yang sesuai dengan minat
Ibnu Taimiyyah pernah berkata, “Saya pernah jatuh sakit. Dokter yang mengobatiku berkata, ‘Membaca dan memberi ceramah ilmiah akan membuat sakitmu lebih parah.’ Saya katakan kepadanya, ‘(Tapi) saya tidak tahan untuk menghentikannya. Sekarang saya akan mengkritisi ilmu Anda sendiri, bukankah ketika jiwa bahagia dan gembira, badan menjadi lebih kuat dan tidak mudah terserang penyakit?’ Jawabnya, ‘Ya memang.’ Lalu saya katakan lagi kepadanya, ‘Akan halnya dengan jiwaku mendapatkan kegembiraan dengan ilmu, dan karenanya tubuh saya menjadi kuat. Saya mendapatkan kebahagiaan di situ.’ Jawabnya, ‘(Tapi) ini di luar kemampuan pengobatan kami’.” (Al-Qarni, 2006: 437)
Mengapa Sahabat Rasulullah Berbahagia?
Pola hidup sederhana dan tidak memaksakan diri.
Ilmu mereka luas, penuh berkah, dan praktis. Ilmu mereka bukan retorika belaka dan amat jelas—tidak berbelit-belit.
Bagi mereka, amalan hati jauh lebih berat daripada ibadah fisik.
Mereka sengaja mengurangi kenikmatan dunia.
Mereka menempatkan jihad sebagai amalan di atas amalan yang lain (lihat Al-Qarni, 2006: 182-183)
Rabu, 15 Oktober 2008
SELEBRITIS MASUK SURGA? BISA!
Akhir-akhir ini masyarakat kita banyak dimanjakan dengan banyaknya ajang-ajang lomba sebagai batu loncatan untuk jadi orang beken alias selebritis. Konon, ajang ini digelar untuk menyalurkan hobi dan bakat-bakat terpendam, khususnya yang dimiliki para remaja, bahkan anak-anak dan balita. Yang bukan lagi remaja atau ABG juga diberi kesempatan. Ada sebuah stasiun televisi swasta yang berbaik hati menggelar ajang untuk orang tua duet bareng anaknya.
Ajang lomba yang ditawarkan juga bermacam-macam. Dari kontes kecantikan putri-putrian, menyanyi, lawak, model dan segudang kontes lain. Tak jarang, bila sudah kebelet ingin menjadi artis, orang memakai jasa agency, atau mendatangi produsen dan sutradara serta mau berpose apa saja, buka-bukaan memperlihatkan aurat hingga rela tak dibayar asal bisa diorbitkan jadi artis. Usai itu bersiaplah ia menapak jalan gemerlap, dunia selebritis yang penuh keindahan semu.
“Dan dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)
NABI BERNAMA SELEBRITIS
Masyarakat kita saat ini tengah mengalami ancaman dekadensi moral secara besar-besaran. Tak cuma informasi yang buruk, dunia hiburan pun ikut menjadi alat perusak moral. Apalagi yang disuguhkan media saat ini selain hanya propaganda dunia selebritis? Informasi dan dunia hiburan tak lagi memberikan sesuatu yang bisa mendidik dan menghibur masyarakat secara sehat, tapi justru memberi pengaruh sebaliknya.
Berawal dari sini dunia hiburan (baca: selebritis) menjelma sebagai nabi baru. Segala sesuatu yang ada pada diri mereka jadi panutan. Begitu mudahnya masyarakat kita meniru mereka. Kita bisa menyaksikan begitu besar dan hebatnya pengaruh selebritis di kalangan generasi muda. Hingga tatkala sang selebritis manggung, mereka rela antri dan berdesak-desakan berjam-jam serta mengeluarkan uang yang tak sedikit. Mereka histeris, berteriak bahkan menangis atau pingsan, jika bisa menyaksikan sang idola di depan mata. Sungguh kepuasan semu yang hanya memberikan kerugian belaka, baik itu secara materi, waktu juga tenaga. Tak lebih.
Pemujaan dan pengidolaan terhadap para selebritis juga banyak terjadi tanpa mengindahkan sisi moral sang selebritis. Sementara pihak-pihak tertentu melihat peluang menggiurkan dengan menjadikan sang seleb yang tengah naik daun untuk menjadi ikon bagi produknya. Misalnya dengan menjadikannya model iklan produk tertentu, sehingga otomatis produk itu akan laris manis di pasaran dan menjadi tren di masyarakat. Muncullah peniruan besar-besaran terhadap sang idola. Dari gaya bicara, cara berpakaian, model rambut, gaya hidup dan sebagainya tanpa mengindahkan pantas tidaknya hal tersebut, dan tanpa menimbang syar’i atau tidak.
Bisa dibayangkan betapa hebatnya pengaruh selebritis, padahal banyak dari mereka yang berkiblat pada dunia barat. Tapi, siapa yang peduli? Sementara banyak dari masyarakat kita yang hanya berpikir instant akibat pengaruh media global yang tak bertanggungjawab. Mereka terus diiming-imingi mimpi ini dan itu, hingga berkeinginan agar bisa seperti artis idolanya dan kalau perlu ikut terjun jadi selebritis.
Fenomena memuja dan mengidolakan selebritis ini akan terus berkesinambungan dengan munculnya kemerosotan moral! Sungguh suatu kenyataan yang menyakitkan. Nabi baru bernama selebritis begitu memesona banyak jiwa. Para penggemarnya dibuat lalai dari mengingat Allah, jatuh bangun dan lupa diri. Na’udzubillah.
SISI GELAP DUNIA SELEBRITIS
Secara naluri, siapa yang tidak tertarik dengan materi dan glamournya hidup yang bisa diperoleh dan dinikmati dari dunia selebritis? Jangankan kita, orang awam dengan modal agama yang pas-pasan. Yang katanya ustadz dan da’i saja, yang tentunya pengetahuan syariatnya lebih dari kita, ikut-ikutan terjun jadi selebritis.
Mereka ikut “ngartis”, main sinetron juga nyanyi! Saking semangatnya, katanya sih untuk melebarkan dakwah. Pak ustadz ini memproduksi filmnya sendiri hingga dibela-belain membuat rumah produksi. Begitulah, dunia selebritas dan pundi-pundi materi juga ketenarannya bisa memerangkap siapa saja, meski mereka tahu atau pura-pura tidak tahu bnayak penyelewengan syariat dalam dunia selebritis.
Gemerlapnya dunia selebritis memang hebat dan meninggalkan kesan wah bagi para pemuja dunia. Tak heran mereka yang terlanjur terbelenggu iming-iming dunia tak peduli bahwa dunia artis secara langsung ataupun tidak langsung ikut ambil bagian dan turut bertanggung jawab dari banyaknya kebobrokan moral.
Kita ambil contoh, akting yang dilakukan artis dalam film atau sinetron hanyalah pura-pura dan bohong. Namun bisa memancing emosi penonton hingga tergerak menirunya. Misal adegan kriminal, korupsi, perkosaan, adegan seks dan gaya hidup bebas lain. Tak mustahil, sedikit demi sedikit “didikan” dari dunia pura-pura ini direalisasikan dalam kehidupan nyata.
Langkah lebih jauh, dunia akting bukan saja bisa mempengaruhi sikap dan gaya hidup seseorang, bahkan bisa mempengaruhi idiologi bahkan keyakinan seseorang.
Contoh lain adalah iklan yang dibintangi artis terkenal, bisa memancing sikap konsumtif dan menumbuhkan rasa tak percaya diri. Hingga kita mengeluarkan uang untuk hal tak perlu dan berlebihan (israf) dalam pengeluaran. Padahal Rasulullah melarang kita bersikap israf dan mengekor begitu saja pada suatu kaum. Sikap-sikap seperti ini bisa memancing frustasi, rasa serba kurang, minder, tidak puas dengan apa yang dimiliki serta selalu kompetitif dalam hal negatif. Karenanya hendaknya kita bertakwa dan berpikir dewasa hingga kita tentram dan tak resah.
“Barangsiapa bertakwa pada Allah akan dijadikan semua perkaranya menjadi mudah.” (Ath-Thalaq: 4)
Dunia artis adalah dunia yang glamour. Yang tak kuat akan terjebak di dalamnya, sebab di sanalah berpusat segala kebobrokan moral. Penyalahgunaan obat terlarang, free sex, minuman keras dan penyelewengan terhadap berbagai norma agama yang lain. Sebagai sosok yang dipenuhi materi, seorang selebritis memang bisa melakukan apa saja dengan materi yang dimilikinya. Maka apa jadinya jika sosok bobrok seperti ini dijadikan idola. Bisa ditebak, kebobrokan moral makin merajalela karena masyarakat berguru pada orang yang salah.
Gaya busana yang tak lagi memenuhi syarat syar’i, wanita-wanita telanjang ataupun setengah telanjang banyak kita temui dalam dunia artis. Aurat dibiarkan terbuka hingga dengan leluasa menjadi santapan mata-mata penuh nafsu. Harga diri dan rasa malu tak lagi berharga dan diobral murah. Mereka seolah tak takut pada sangsi Allah. Dalam haditsnya Rasulullah n bersabda,
“Siapa pun wanita yang melepaskan pakaiannya (menampakkan auratnya) bukan di rumahnya sendiri, maka Allah akan merobek tirai kehormatannya (tidak ada penyelamat baginya).” (Riwayat Ahmad, At-Tabrani, dan Al-Hakim)
Selain itu, dalam dunia artis juga banyak terjadi tabarruj dan ikhtilat, pacaran serta hubungan bebas di luar nikah. Para selebritis tanpa beban dan malu berpelukan atau berciuman dengan lawan jenis di depan umum. Zina sudah sangat dianggap hal biasa dalam dunia selebritis. Hal-hal ini jelas menyimpang dari syari’at. Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya (bila) salah seorang di antaramu ditikam dari kepalanya dengan jarum dari besi, adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang yang bukan muhrimnya.” (Riwayat Tabrani)
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu sesuatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (Al-Israa’: 32)
Dalam dunia artis pun, agama dijadikan olok-olok dan diselewengkan. Banyak film mistis yang di dalamnya menampilkan sosok ulama, di sisi lain film yang sama ada adegan umbar aurat dan sosok mbah dukun. Belum lagi sosok si artis yang tanpa beban membuka jilbab. Hal ini sangat menyakitkan, tak peduli meski ia mengaku sudah menyandang predikat haji.
Masih banyak lagi penyimpangan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia selebritis. Uraian di atas hanyalah sebagian kecil. Belum lagi efek-efek negatif yang ditimbulkan dari maraknya dunia selebritis terhadap si artis sendiri ataupun masyarakat. Ditambah lagi konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan selebritis di akhirat kelak. Bukankah telah ada ancaman bagi wanita pelaku maksiat yang suka berlenggak lenggok dan pamer aurat, bahwa mereka akan diadzab dan tidak akan mencium baunya surga? Jadi, masihkah menjadi seorang selebritis jadi impian?
SELEBRITIS MASUK SURGA
Yang ini baru berita gembira dan luar biasa. Selebritis masuk surga! Itu bukan hal mustahil dan syaratnya pun mudah. Asal mereka taubat nasuha dan meninggalkan profesi itu. Dan selanjutnya tentunya segera memperbaiki diri dan memperbaiki kualitas ketakwaan dengan belajar agama serta meninggalkan hal-hal yang dilarang syariat.
Tak hanya selebritis, siapa pun bisa masuk surga asal terpenuhi syarat-syaratnya. Persiapkan diri dari sekarang sebelum terlambat untuk meraih jannah-Nya. Sebelum maut menjemput, sebelum dunia digoncangkan dan langit digulung, kesempatan itu masih selalu ada. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyegerakan diri dalam ampunan-Nya.
(Ummu Nabhan)
http://majalah-nikah.com/
Rabu, 08 Oktober 2008
Mintalah Yang Terbaik
“Poligami, Anugerah yang Terdzalimi”, buku karya Abu Umar Basyier itu baru saja kubaca. Menarik juga isinya, mengupas tuntas tentang seluk beluk poligami, disertai beberapa ilustrasi yang terjadi dalam kehidupannya. Pilihan katanya yang mudah dicerna dan tidak bertele-tele, telah membuat buku ini tidak membosankan untuk dibaca.
Dulu, sebagai istri aku begitu khawatir bila dimadu. Berbagi suami, tidakkah itu akan terasa menyiksa? Lalu akupun berdoa agar itu tidak terjadi padaku. Hingga suatu ketika aku bertemu dengan ummahat, istri penulis buku itu. Dengan polos, kutanyakan padanya,”Um, bolehkah seorang istri berdo’a agar suaminya tidak ta’addud?” Ia pun tersenyum, lalu menjawab,”Pada dasarnya, semua wanita mungkin akan menolak untuk dita’addud. Tapi, ta’addud adalah bagian dari syariat yang tidak boleh bagi kita untuk menolaknya. Kalau berdo’a agar suami tidak ta’addud, bagaimana bila Allah nanti menakdirkan yang sebaliknya? Malah tidak siapkan jadinya. Jadi kalau berdo’a, mintalah yang terbaik.’Ya Allah, berikanlah yang terbaik bagi kami’. Kalau yang terbaik buat kalian adalah berdua sampai mati ya insyaAllah itu yang akan Dia kasih”.
“Ya Allah, berikanlah yang terbaik bagi kami.” Kalimat itu senantiasa terngiang-ngiang dalam benakku. Sungguh do’a yang sederhana tapi penuh makna. Dalam do’a itu, terkandung kepasrahan dan ketawakkalan seorang hamba kepada Rabb-nya. Ya Allah, ampunilah aku, yang selama ini masih takut dan khawatir atas garis takdirku. Sejak saat itu, kuubah do’aku yang penuh kekhawatiran, dengan do’a yang penuh kepasrahan dan ketawakkalan.
Kembali pada buku itu. Setidaknya, ada dua point penting yang terekam dalam otakku, dari buku itu. Pertama, bahwa ternyata, poligami itu adalah kekangan bagi lelaki, untuk senantiasan berlaku adil. Tidak boleh ia memperlakukan istri sekehendak hatinya. Tidak boleh ia berlama-lama bersama istri muda, dengan mengabaikan istri tuanya. Ia wajib memberikan nafkah, perlindungan, dan pemeliharaan kepada semua istrinya, dengan adil. Ini sesuai yang dikatakan istri penulis buku itu. “Kelihatannya saja poligami itu enak bagi lelaki. Tapi, sesungguhnya, tanggung jawab seorang laki-laki yang berpoligami itu sangat berat. Bila ia tidak bisa adil, maka ia akan mempertanggungjawabkannya di akhirat. Di dunia, bisa saja ia berbuat sekehendaknya. Tapi diakhirat, semua tetap ada balasannya.”
Kedua, dalam buku itu, ada anjuran bagi istri pertama, untuk mengubah rasa duka menjadi suka dan gembira, bila suaminya ta’addud. Mengapa? Karena suaminya telah melakukkan syariat yang mulia. Kurasa, sepanjang sang suami bisa berlaku adil, sepanjang istri tua tidak kehilangan cinta dan kasih sayang dari suaminya, bisa saja mengubah duka menjadi suka, meski mungkin perlu waktu. Sebaliknya, bila suami tidak bisa adil, selalu menomorsatukan istri keduanya, maka duka pun akan senantiasa menggelayut dalam hati istri pertama. Doaku semoga bila abahnya anak-anak sudah beristri lagi,”maduku” nanti diperlakukan pula dengan adil dan akhirnya tambah sayang kepadaku. Doaku berikutnya, semoga dengan poligami, kebahagiaan itu takkan pergi…(ummu naziha)
Rubrik Kolomummi, Majalah Nikah edisi April 2007, hal. 75
DIarsipkan di bawah: Muslimah
Istriku Tidak Seperti yang Ku Dambakan
Oleh. Ummu Raihanah
Untuk para pemuda yang akan menikah, untuk para suami yang telah mendapatkan pasangan hidupnya. Kisah ini layak dan perlu untuk ditelaah. Mungkin kau telah membayangkan dengan berbagai juta pesona yang akan kau dapati dari calon pendampingmu.Terukir indah dalam mimpimu setiap malam, dan ketika kau terjaga tampaklah senyum merekah dari bibirmu,… betapa tak sabar hatimu ingin meraihnya. Namun, setelah kau bersamanya dan ia ada disisimu begitu dekat dengan dirimu. Matamu, jiwamu dan hatimu selalu bersamanya setiap waktu tiba-tiba kau merasa kecewa, kau temui ia tidak seperti yang kau dambakan, tidak seperti yang kau inginkan. Ibarat menelan pil pahit ingin segera kau muntahkan dari mulutmu tapi rasa pahit itu terlanjur menyerang di kerongkonganmu.Sulit untuk kau hilangkan dari lidahmu. Wahai para suami apa yang ingin kau lakukan??
Jika terbetik dalam hatimu untuk berpisah darinya maka tunggu dulu hingga kau membaca kisah ini, semoga kau bisa mengambil manfaat darinya dan semoga hatimu sedikit luruh melunak karenanya. Inilah kisahnya saudaraku, simaklah dengan baik-baik :
Ibnu Al-Jauzy mengatakan: “Ada satu riwayat yang dinisbahkan kepada Usman ibn Al-Nisabury: Pekerjaan apa yang ditangguhkan untukmu? Dia mengatakan ; Saya dalam memberikan kasih sayang, hingga keluargaku berupaya untuk menikahkanku, tapi aku tidak mau. Kemudian seorang wanita datang kepadaku lalu mengatakan : Wahai Abu Usman aku mencintaimu, demi Tuhan! Aku mohon padamu untuk menikahi aku. Kemudian aku menghadirkan bapaknya-orang yang tak punya- dan menikahkannya denganku, dengan demikian dia merasa girang dan gembira.
Ketika wanita itu masuk menghadapku, ternyata matanya buta sebelah, memiliki cacat, tidak cantik. Karena cintanya padaku ia melarangku untuk keluar, lalu aku duduk demi menjaga kegusarannya, dan aku tidak menampakkan kebencian sama sekali, seolah-olah aku menyingkirkan segala ketidak sukaan. Aku lakukan itu selama 15 tahun hingga ia wafat. Aku tidak memiliki apapun dari pekerjaanku kecuali aku menangguhkannya, demi untuk memelihara kegusaran hatinya. (Saidul khatir, 635-636)
Ibnu Qayyim mengatakan : “Dikatakan: Ada seseorang menikahi seorang wanita. Ketika masuk ia mendapati pada anggota tubuhnya cacar. Dia mengatakan: Aku menutupi kedua mataku, lalu aku katakan : Aku buta, setelah 20 tahun wanita itu wafat dan dia tidak mengetahui bahwa aku tidak buta. Kemudian dia ditanya mengapa demikian: Dia menjawab aku tidak ingin pandanganku menyedihkannya karena ada aib yang dimilikinya yaitu cacar” (Madarijus Salikin 2/326)
Kemudian simaklah kisah lainnya berikut ini:
Syaikh Dr. Muhammad ibn Luthfy as-Shabbagh mengatakan: Seorang kawan berbicara padaku bahwa gurunya menyimpan rahasia dengan suatu kenyataan yang terjadi dalam kehidupannya, dia mengatakan: Sesungguhnya aku telah menikahi istriku ini selama 40 tahun. Aku tidak pernah melihat satu halpun yang menggembirakan. Sejak hari pertama mempergaulinya, aku tahu dia cocok denganku dalam suatu hal, tapi dia adalah putri pamanku, dan aku yakin tidak ada seorangpun yang mau menanggungnya, aku tetap bersabar dengan penuh perhitungan. Allah subhanahu wata’ala mengaruniakanku beberapa putra yang baik dan shalih, dan memberiku pertolongan padanya untuk menjauhinya dengan menulis berbagai karangan. Dari karangan-karangan itulah aku berharap sumbangsih dalam ilmu pengetahuan dan sedekah jariyah yang mengalir. Dengan demikian, hubunganku yang kurang baik dengan istriku dapat menciptakan hubungan sosial yang produktif dan membangun. Keadaan ini mungkin tidak akan pernah terwujud seandainya aku menikah lagi dengan wanita lainnya.
Beliau mengatakan lagi: Seorang kawan yang lain mengajak aku ngobrol, dia mengatakan: Sejak hari-hari pertama aku menikah dengan istriku, aku benar-benar tidak punya keinginan dan tidak ada rasa cinta sama sekali, tetapi aku telah berjanji kepada Allah untuk bersabar atas masalah ini, tidak menyakitinya, dan aku rela dengan pemberian-Nya ini. Selama pernikahan ini, aku dianugerahi harta yang banyak, dikaruniai beberapa putra, kedamaian dan ketentraman. (nadzarat fil usrah al-muslimah, 196)
Apa pendapatmu setelah membaca kisah diatas?. Segala keputusan ada ditanganmu, wahai para suami,….Sungguh aku tidak ingin mencampuri kehidupan rumah tanggamu. Sebagai saudara seiman hanyalah sebuah nasehat yang ingin ku berikan kepadamu, Renungkanlah firman-Nya:
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal ALlah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (AN-Nisaa ;19) dan juga hadits berikut ini semoga hatimu terbuka olehnya:
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Kalaupun dia tidak menyukai suatu akhlaknya yang buruk, mungkin di sisi lain ada akhlaknya yang dia senangi” (HR. Muslim no.845). Wallahu’alam bish-shawwab.
Sydney, Juni 2005
Sumber Rujukan:
Ringkasan Shahih Muslim, Pustaka Amani, Jakarta
Kesalahan-kesalahan Suami, (lihat hal:114-116) Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Pustaka Progresif,Surabaya.
Sumber:Jilbab.or.id
Terganggu Kram Saat Tidur
Kejang pada otot diakibatkan oleh terjadinya ketegangan pada otot dan sekitarnya (invoulantary muscke). Ketegangan ini memang sering terjadi pada kaki, tapi bisa juga pada otot bagian tubuh lainnya.
Penyebab terjadinya ketegangan ini adalah aliran darah yang kurang kuat ke daerah otot tersebut, kelelahan yang berlebihan, postur tubuh yang salah ketika melakukan gerakan, atau karena cedera otot. Hal yang sering terlupakan sehubungan dengan terjadinya kram yang berulang kali adalah hilangnya elektrolit dalam cairan tubuh yang berlebihan, terutama natrium, kalium dan magnesium sehingga otot mengalami kelelahan kronis.
Umumnya keluhan kram otot dapat diatasi dengan melakukan pemijatan atau kompres hangat pada daerah yang tegang, kemudian dilanjutkan dengan meregangkan otot-otot tersebut. Bisa juga dicoba dengan melakukan kintras hidroterapi, yaitu peredaman kaki secara bergantian dengan air hangat selama 10-15 menit kemudian air dingin selama 3 menit. Ini adalah cara yang efektif untuk melancarkan sirkulasi darah. Baik sekali kalau dilakukan setiap hari untuk mencegah terulangnya kram. Hal lain yang perlu diperhatikan untuk mencegah kram adalah melakukan upaya pemanasan setiap kali akan melakukan aktivitas. Atau jika bekerja dikantor penting sekali melakukan gerakan otot tubuh, terutama kaki, 2-3 jam sekali. Untuk variasi, lakukan jalan selama 5-10 menit. Lebih baik naik turun tangga (jika ada) selama 3-5 menit saja. Selain itu, hal-hal yang perlu diperhatikan juga adalah
Pengaturan pola makan: konsumsi makanan tinggi kalsium dan magnesium sangan dianjurkan, misalnya sayuran hijau, buah dengan warna terang, juga kecambah. Batasi makan jeruk, daging merah, hati dan kacan-kacangan.
Zat nutrisi: kekurangan vitamin dan mineral sangat berguna untuk mengurangi atau mencegah terjadinya kram otot.
Pada beberapa kasus, pemberian multivitamin dan mineral saja tidak cukup, harus disertai dengan pemberian asam folat yang cukup untuk membantu meningkatkan sirkulasi (mikro) pada otot. Penambahan itu dapat dibantu dengan mengkonsumsi jus buah dan sayur yang kaya mineral dan vitamin, misalnya wortel, beet, seledri, dan mentimun.
Dikutip dari majalah ElFata Vol 7: 2 2007, hal 68
Penyebab terjadinya ketegangan ini adalah aliran darah yang kurang kuat ke daerah otot tersebut, kelelahan yang berlebihan, postur tubuh yang salah ketika melakukan gerakan, atau karena cedera otot. Hal yang sering terlupakan sehubungan dengan terjadinya kram yang berulang kali adalah hilangnya elektrolit dalam cairan tubuh yang berlebihan, terutama natrium, kalium dan magnesium sehingga otot mengalami kelelahan kronis.
Umumnya keluhan kram otot dapat diatasi dengan melakukan pemijatan atau kompres hangat pada daerah yang tegang, kemudian dilanjutkan dengan meregangkan otot-otot tersebut. Bisa juga dicoba dengan melakukan kintras hidroterapi, yaitu peredaman kaki secara bergantian dengan air hangat selama 10-15 menit kemudian air dingin selama 3 menit. Ini adalah cara yang efektif untuk melancarkan sirkulasi darah. Baik sekali kalau dilakukan setiap hari untuk mencegah terulangnya kram. Hal lain yang perlu diperhatikan untuk mencegah kram adalah melakukan upaya pemanasan setiap kali akan melakukan aktivitas. Atau jika bekerja dikantor penting sekali melakukan gerakan otot tubuh, terutama kaki, 2-3 jam sekali. Untuk variasi, lakukan jalan selama 5-10 menit. Lebih baik naik turun tangga (jika ada) selama 3-5 menit saja. Selain itu, hal-hal yang perlu diperhatikan juga adalah
Pengaturan pola makan: konsumsi makanan tinggi kalsium dan magnesium sangan dianjurkan, misalnya sayuran hijau, buah dengan warna terang, juga kecambah. Batasi makan jeruk, daging merah, hati dan kacan-kacangan.
Zat nutrisi: kekurangan vitamin dan mineral sangat berguna untuk mengurangi atau mencegah terjadinya kram otot.
Pada beberapa kasus, pemberian multivitamin dan mineral saja tidak cukup, harus disertai dengan pemberian asam folat yang cukup untuk membantu meningkatkan sirkulasi (mikro) pada otot. Penambahan itu dapat dibantu dengan mengkonsumsi jus buah dan sayur yang kaya mineral dan vitamin, misalnya wortel, beet, seledri, dan mentimun.
Dikutip dari majalah ElFata Vol 7: 2 2007, hal 68
Sabtu, 04 Oktober 2008
Seputar Jabat Tangan
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Pengertian
Al Hattab (ulama madzhab Malikiyah) mengatakan: “Para ulama kami (Malikiyah) mengatakan: Jabat tangan artinya meletakkan telapak tangan pada telapak tangan orang lain dan ditahan beberapa saat, selama rentang waktu yang cukup untuk menyampaikan salam.” (Hasyiyah Al Adzkar An Nawawi oleh Ali Asy Syariji, hal. 426)
Ibn Hajar mengatakan: “Jabat tangan adalah melekatkan telapak tangan pada telapak tangan yang lain.” (Fathul Bari, 11/54)
Hukum
An Nawawi mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya jabat tangan adalah satu hal yang disepakati sunnahnya (untuk dilakukan) ketika bertemu.”
Ibn Batthal mengatakan: “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (Syarh Shahih Al Bukhari Ibn Batthal, 71/50)
Namun penjelasan di atas berlaku untuk jabat tangan yang dilakukan antara sesama laki-laki atau sesama wanita.
Berikut adalah dalil-dalil dianjurkannya jabat tangan:
Qatadah bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah jabat tangan itu dilakukan diantara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Anas menjawab: “Ya.” (HR. Al Bukhari, 5908)
Abdullah bin Hisyam mengatakan: “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau memegang tangan Umar bin Al Khattab.” (HR. Al Bukhari 5909)
Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al Bukhari 4156)
Dan beberapa hadis lainnya yang akan disebutkan dalam pembahasan keutamaan berjabat tangan.
Akan tetapi dikatakan bahwasanya Imam Malik membenci jabat tangan. Dan ini merupakan pendapat Syahnun dan beberapa ulama Malikiyah. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah ta’ala ketika menceritakan salamnya Malaikat kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman, yang artinya: “(Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: ‘Salaamun’ Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (QS. Ad Dzariyat: 25)
Pada ayat di atas, malaikat hanya menyampaikan salam kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan mereka tidak bersalaman. Sehingga Malikiyah berkesimpulan bahwa di antara kebiasaan orang saleh (nabi Ibrahim & para Malaikat) adalah tidak berjabat tangan ketika ketemu, tetapi hanya mengucapkan salam.
Namun, yang lebih tepat, pendapat Imam Malik yang terkenal adalah beliau menganjurkan jabat tangan. Hal ini dikuatkan dengan sebuah riwayat, di mana Sufyan bin ‘Uyainah pernah menemui beliau dan Imam Malik bersalaman dengan Sufyan. Kemudian Imam Malik mengatakan: “Andaikan bukan karena bid’ah, niscaya aku akan memelukmu.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Orang yang lebih baik dari pada aku dan kamu yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memeluk Ja’far ketika pulang dari negeri Habasyah. Kata Malik: “Itu khusus (untuk Ja’far).” Komentar Sufyan: “Tidak, itu umum. Apa yang berlaku untuk Ja’far juga berlaku untuk kita, jika kita termasuk orang saleh (mukmin).” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/13949)
Kesimpulannya, bahwasanya pendapat yang paling tepat adalah dianjurkannya berjabat tangan antar sesama. Mengingat banyak dalil yang menegaskan hal tersebut. Sedangkan adanya pendapat yang menyelisihi hal ini terlalu lemah ditinjau dari banyak sisi.
Keutamaan Berjabat Tangan
Terampuninya dosa
Dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu Daud, 4343)
Dari Hudzifah bin Al Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain, kemudian dia memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.” (Diriwayatkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 525)
Menimbulkan rasa cinta antara orang yang saling bersalaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan suatu perbuatan yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai?” yaitu: “Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim 93)
Jika semata-mata mengucapkan salam bisa menimbulkan rasa cinta maka lebih lagi jika salam tersebut diiringi dengan jabat tangan.
Menimbulkan ketenangan jiwa
Menghilangkan kebencian dalam hati
“Lakukanlah jabat tangan, karena jabat tangan bisa menghilangkan permusuhan.” Tetapi hadis ini didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (Ad Dha’ifah, 1766)
“Lakukanlah jabat tangan, itu akan menghilangkan kedengkian dalam hati kalian.” (HR. Imam Malik dalam Al Muwatha’ dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani)
Terdapat beberapa hadis dalam masalah ini, namun semuanya tidak lepas dari cacat. Di antaranya adalah:
Terlepas dari hadis di atas, telah terbukti dalam realita bahwa berjabat tangan memiliki pengaruh dalam menghilangkan kedengkian hati dan permusuhan.
Berjabat tangan merupakan ciri orang-orang yang hatinya lembut
Ketika penduduk Yaman datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Penduduk Yaman telah datang, mereka adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian.” Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkomentar tentang sifat mereka: “Mereka adalah orang yang pertama kali mengajak untuk berjabat tangan.” (HR. Ahmad 3/212 & dishahihkan Syaikh Al Albani, As Shahihah, 527)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa penduduk Yaman adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada para sahabat. Di antara ciri khas mereka adalah bersegera untuk mengajak jabat tangan.
Mencium Tangan Ketika Jabat Tangan
Ibn Batthal mengatakan:
“Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi mencium tangan ketika bersalaman. Imam Malik melarangnya, sementara yang lain membolehkannya.” (Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Batthal 17/50)
Di antara dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan adalah:
Abu Lubabah & Ka’ab bin Malik, serta dua sahabat lainnya (yang diboikot karena tidak mengikuti perang tabuk) mencium tangan Nabi Shallallhu ‘alaihi wa Sallam ketika taubat mereka diterima oleh Allah. (HR. Al Baihaqi dalam Ad Dalail & Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
Abu Ubaidah mencium tangan Umar ketika datang dari Syam (HR. Sufyan dalam Al Jami’ & disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibn Abbas ketika Ibn Abbas menyiapkan tunggangannya Zaid. (HR. At Thabari & Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
Usamah bin Syarik mengatakan: “Kami menyambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami mencium tangannya.” (HR. Ibn Al Maqri, Kata Al Hafizh: Sanadnya kuat.”)
Dan masih banyak beberapa riwayat lainnya yang menunjukkan bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan. Bahkan Ibn Al Maqri menulis buku khusus yang mengumpulkan beberapa riwayat tentang bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan.
Satu hal yang perlu diingat bahwasanya mencium tangan ini diperbolehkan jika tidak sampai menimbulkan perasaan mengagungkan kepada orang yang dicium tangannya dan merasa rendah diri di hadapannya. Karena hal ini telah masuk dalam batas kesyirikan. (lih. Al Iman wa Ar Rad ‘ala Ahlil Bida’, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaikh)
An Nawawi mengatakan: “Mencium tangan seseorang karena sifat zuhudnya, salehnya, amalnya, mulianya, sikapnya dalam menjaga diri dari dosa, atau sifat keagamaan yang lainnya adalah satu hal yang tidak makruh. Bahkan dianjurkan. Akan tetapi jika mencium tangan karena kayanya, kekuatannya, atau kedudukan dunianya adalah satu hal yang makruh dan sangat di benci. Bahkan Abu Sa’id Al Mutawalli mengatakan: “Tidak boleh” (Fathul Bari, Al Hafizh Ibn Hajar 11/57)
Berdasarkan beberapa keterangan ulama di atas dan dengan mengambil keterangan ulama yang lain, disimpulkan bahwa mencium tangan diperbolehkan dengan beberapa persyaratan:
Tidak sampai menimbulkan sikap mengagungkan orang yang dicium
Tidak menimbulkan sikap merendahkan diri di hadapan orang yang dicium
Karena kemuliaan dan kedudukan dalam agama dan bukan karena dunianya
Tidak dijadikan kebiasaan, sehingga mengubah sunnah jabat tangan biasa
Orang yang dicium tidak menjulurkan tangannya kepada orang yang mencium (keterangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah)
Berjabat Tangan Dengan Lawan Jenis
Masalah ini termasuk di antara kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat yang cukup meruncing. Sebagian mengharamkan secara mutlak, sebagian membolehkan dengan bersyarat, bahkan sebagian berpendapat sangat longgar. Tulisan ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun tidak lebih dari sebatas usaha untuk menerapkan firman Allah: “Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apapun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An Nisa’: 59)
Agar kajian lebih sistematis, pembahasan masalah ini akan diperinci menjadi beberapa bagian:
Pertama, Perbedaan pendapat ulama dalam masalah jabat tangan dengan lawan jenis
Ulama Mazhab Hanafi
Diperbolehkan melakukan jabat tangan dengan persyaratan aman dari munculnya syahwat dari kedua pihak orang yang berjabat tangan. Sehingga mereka membedakan antara yang tua dan yang masih muda. Berdasarkan kemungkinan munculnya syahwat.
Ulama Mazhab Maliki
Mazhab ini secara tegas melarang jabat tangan, dan tidak membedakan antara yang sudah tua maupun yang masih muda.
Ulama Mazhab Syafi’i
Sebagian syafi’iyah membolehkan jabat tangan dengan syarat adanya benda yang melapisi dan aman dari munculnya fitnah atau syahwat yang mengarah pada perzinaan. Sebagian yang lain melarang secara mutlak. Dan pendapat kedua ini adalah pendapat mayoritas Syafi’iyah. Di antaranya adalah An Nawawi dan Ibn Hajar al ‘Asqalani.
Ulama Mazhab Hambali
Dalam mazhab ini ada dua pendapat. Pertama melarang secara mutlak tanpa membedakan antara yang muda, yang tua dan yang kedua memakruhkan jika dilakukan dengan yang sudah tua.
Pendapat yang lebih kuat, akan disimpulkan di akhir pembahasan ini.
Kedua, Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjabat tangan dengan wanita?
Dari Umaimah binti Raqiqah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sekelompok wanita yang membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk islam. Para wanita itu mengatakan: “Wahai Rasulullah, kami berbaiat (berjanji setia) kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kami, tidak berbohong dengan menganggap anak temuan sebagai anak dari suami, dan menaatimu dalam setiap perintah dan laranganmu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Dalam masalah yang kalian bisa dan kalian mampu.” Para wanita itu mengatakan: “Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menyayangi kami dari pada diri kami sendiri, mendekatlah, kami akan membaiatmu wahai Rasulullah!
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram), ucapanku untuk seratus wanita itu sebagaimana ucapanku untuk satu wanita.” (HR. Ahmad 6/357 & disahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 2/64)
A’isyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan: “Jika ada wanita mukmin yang berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengujinya, berdasarkan firman Allah dalam surat Al Mumtahanah ayat 10. “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka… Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan baiat, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah baiat mereka…” (QS. Al Mumtahanah: ayat 10 s/d ayat 12)
Kata A’isyah radhiyallahu ‘anha: “Wanita mukmin yang menerima perjanjian ini berarti telah lulus ujian. Sementara jika para wanita telah menerima perjanjian tersebut secara lisan maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka: ‘Pergilah, karena aku telah menerima baiat kalian’. Dan demi Allah! Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyentuh tangan wanita (tersebut) sedikitpun. Beliau hanya membaiat dengan ucapan.” (HR. Al Bukhari, 7214)
Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita ketika baiat.” (HR. Ahmad 2/213 & dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah 530)
Riwayat-riwayat secara tegas menunjukkan bahwa baiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita adalah secara lisan, dan tidak dengan berjabat tangan. Hadis ini sekaligus menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan jabat tangan dengan wanita asing di selain momen baiat. Hal ini dapat dipahami melalui dua alasan:
Pertama, Karena Baiat adalah peristiwa sangat penting dalam sejarah hidup seseorang. Momen baiat merupakan momen yang sangat mendesak untuk diiringi dengan jabat tangan. Karena ini akan lebih menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam baiat. Oleh karena itu, para wanita yang berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengajak beliau untuk berjabat tangan. Namun demikian, Beliau menolaknya. Artinya, terdapat faktor pendorong yang sangat kuat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan dengan wanita asing.
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah, manusia yang ma’shum (terjaga dari kesalahan), sehingga sangat kecil kemungkinan munculnya niat jahat dalam batin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika harus berjabat tangan dengan wanita. Artinya, faktor penghalang yaitu munculnya niat jahat, sehingga menyebabkan jabat tangan ini menjadi perbuatan maksiat karena diiringi dengan syahwat tidaklah ada. Lengkap sudah posisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan. Ada faktor pendorong yang kuat dan tidak adanya faktor penghalang. Namun demikian, beliau tidak bersedia melakukan jabat tangan dengan wanita asing. Semua ini menunjukkan bahwasanya bagian dari syariat beliau adalah meninggalkan jabat tangan dengan wanita asing.
Ringkasnya adalah sebagaimana yang dinukil dari Ibn ‘Athiyah dan At Tsa’labi: ulama sepakat bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuhkan tangannya dengan wanita yang bukan mahramnya sama sekali. Dengan adanya nukilan ijma’ ini, diharapkan bisa memutus segala perselisihan apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan jabat tangan dengan wanita ataukah tidak. Dengan demikian, semua hadis yang secara tidak jelas mengisyaratkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berjabat tangan dengan wanita, dikembalikan pada kesimpulan tegas ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita asing.
Ketiga, Apakah sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram?
Ulama ushul menyatakan bahwa sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram secara mutlak. Tetapi hanya menunjukkan hukum makruh.
Al Jas-shas mengatakan: “Pendapat kami tentang sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan sama dengan pendapat kami tentang status perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata.” (Al Ushul, 1/210)
As Syaukani mengatakan: “Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan statusnya untuk diikuti sebagaimana sikap beliau dalam melakukan suatu berbuatan.”
Artinya, semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menunjukkan hukum sunah, sebagaimana semata-mata sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Pendapat ini dinisbahkan kepada Imam As Syafi’i, oleh karena itu banyak diikuti oleh ulama mazhabnya. Di antaranya adalah Al Juwaini, Abu Hamid Al Ghazali, As Shairafi. Pendapat ini juga yang dipilih oleh sebagian Hanafiyah dan adalah satu pendapat Imam Ahmad yang kemudian dipilih oleh Abul Hasan At Tamimi, Al Fakhr Isma’il, dan Abu Ya’la Al Farra’.
Abu Syamah Al Maqdisy mengatakan: “Ini adalah pendapat para peneliti di antara ahli hadis. Penulis kitab Al Hawi mengatakan: “ini adalah pendapat kebanyakan ulama’” (Af’alur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, 66). (lihat Keterangan di atas dalam Mushafaha Al Ajnabiyah fi mizanil Islam, 67)
Kesimpulan:
Berdalil dengan hadis-hadis yang menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berjabat tangan dengan wanita asing tidak cukup untuk menghukumi haramnya berjabat tangan dengan wanita. Karena semata-mata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Untuk menegaskan hukum haram, memerlukan dalil khusus yang menegaskannya. Lalu, apakah ada dalil tegas yang melarang perbuatan tersebut?
Keempat, Hadis-hadis yang secara tegas melarang jabat tangan dengan lawan jenis:
Pertama, Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada dia menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.” (HR. At Tabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 20/212/487 & Ar Ruyani dalam Al Musnad, 2/323/1283)
Hadis ini dibawakan oleh At Thabrani dengan sanad berikut: Dari Abdan bin Ahmad, dari Ali bin Nashr, dari Syaddad bin Said, dari Abul Ala’, bahwasanya Ma’qil bin Yasar mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: …
Andaikan hadis ini shahih maka cukup untuk menjadi pemutus perselisihan ulama dalam masalah ini. Sehingga siapapun yang berpendapat sebaliknya, layak untuk digelari dengan pengekor hawa nafsu. Namun hadis ini memiliki cacat. Berikut keterangan selengkapnya: Keterangan ulama tentang status hadis ini:
Ibn Hajar Al haitami mengatakan: “Sanadnya sahih.” (Az Zawajir, 368)
Al Hafizh Al Haitsami mengatakan: “Perawinya adalah para perawi kitab shahih.” (Al Majma’uz Zawaid, 7718)
Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadis ini sanadnya jayyid” (As Shahihah, 1/447)
Muhammad Abduh Alu Muhammad Abyadh menjelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut: “Semua perawi hadis ini adalah perawi yang terdapat dalam Al Bukhari & Muslim. Kecuali Syaddad bin Sa’id. Beliau hanya terdapat dalam shahih muslim dan hanya meriwayatkan satu hadis saja dalam shahih Muslim. Sebagian ulama, semacam Ahmad dan Ibn Ma’in menganggap Tsiqah perawi ini. Namun Al Bukhari mengatakan tentang perawi ini: “Shaduq namun hafalannya agak rusak.”… Ibn Hibban mengatakan: “Terkadang keliru.”
Sedangkan riwayat Syaddad bin Sa’id menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqah, sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Basyir bin Uqbah dari Abul ‘Ala, dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, secara mauquf (perkataan Ma’qil bin Yasar dan bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ma’qil mengatakan: “Kalian bersengaja membawa jarum kemudian menusukkannya ke kepalaku, itu lebih aku sukai dari pada kepalaku dimandikan oleh wanita yang bukan mahram. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 3/15/17310)
Sementara Basyir bin Uqbah adalah perawi yang terdapat dalam shahih Al Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, riwayat Basyir bin Uqbah lebih didahulukan dari pada riwayat Syaddad bin Sa’id.” (Mushafahah Al Ajnabiyah hal. 30, dikutip dengan sedikit penyesuaian)
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa riwayat di atas bukanlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi perkataan sahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu.
Kedua, Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ditetapkan (ditakdirkan) bagi setiap anak Adam bagian dari perbuatan zina. Pasti dia alami dan tidak bisa mengelak. Dua mata zinanya melihat, dua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya berbicara, tangan zinanya menyentuh, kaki zinanya melangkah, hati zinanya berangan-angan, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakan itu semua.” (HR. Muslim 6925)
Beberapa keterangan untuk hadis ini:
An Nawawi mengatakan: “Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan. Di antara mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal yang haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan usaha-usaha untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya…” (Syarh Shahih Muslim, 8/457)
Ibn Hibban memasukkan hadis ini dalam kitab Shahihnya. Beliau meletakkan hadis ini di bawah judul: “Bab Penggunaan istilah zina untuk tangan yang menyentuh sesuatu yang tidak halal.” (Shahih Ibn Hibban, 10/269)
Dalam kesempatan yang lain, Ibn Hibban memberikan judul: “Bab, digunakan istilah zina untuk anggota badan yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan cabang dari perzinaan.” (Shahih Ibn Hibban, 10/367)
Penamaan judul Bab dalam kitab shahihnya yang dilakukan Ibn hibban di sini menunjukkan bahwa beliau memahami bahwa kasus pelanggaran yang dilakukan anggota tubuh yang mengantarkan zina adalah bentuk perbuatan zina. Karena penamaan judul bab para penulis hadis adalah pernyataan pendapat beliau.
Al Jas-shas mengatakan: “Digunakan istilah zina untuk kasus ini dalam bentuk majaz (bukan zina sesungguhnya dengan kemaluan, -pen).” (Ahkam Al Qur’an, 3/96)
Kesimpulannya, istilah zina bisa digunakan untuk semua anggota badan yang melakukan pelanggaran, karena perbuatan tersebut merupakan pengantar terjadinya perzinaan. Sedangkan zina yang hakiki adalah zina kemaluan.
Dengan hadis kedua ini (hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) dapat disimpulkan bahwa jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram dengan disertai syahwat adalah perbuatan haram baik oleh orang muda maupun tua, karena perbuatan ini termasuk bagian perbuatan zina.
Ketiga: Penjelasan Sinqithi yang berdalil dengan perintah untuk menundukkan pandangan.
Allahu a’lam…
***
Pengertian
Al Hattab (ulama madzhab Malikiyah) mengatakan: “Para ulama kami (Malikiyah) mengatakan: Jabat tangan artinya meletakkan telapak tangan pada telapak tangan orang lain dan ditahan beberapa saat, selama rentang waktu yang cukup untuk menyampaikan salam.” (Hasyiyah Al Adzkar An Nawawi oleh Ali Asy Syariji, hal. 426)
Ibn Hajar mengatakan: “Jabat tangan adalah melekatkan telapak tangan pada telapak tangan yang lain.” (Fathul Bari, 11/54)
Hukum
An Nawawi mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya jabat tangan adalah satu hal yang disepakati sunnahnya (untuk dilakukan) ketika bertemu.”
Ibn Batthal mengatakan: “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (Syarh Shahih Al Bukhari Ibn Batthal, 71/50)
Namun penjelasan di atas berlaku untuk jabat tangan yang dilakukan antara sesama laki-laki atau sesama wanita.
Berikut adalah dalil-dalil dianjurkannya jabat tangan:
Qatadah bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah jabat tangan itu dilakukan diantara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Anas menjawab: “Ya.” (HR. Al Bukhari, 5908)
Abdullah bin Hisyam mengatakan: “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau memegang tangan Umar bin Al Khattab.” (HR. Al Bukhari 5909)
Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al Bukhari 4156)
Dan beberapa hadis lainnya yang akan disebutkan dalam pembahasan keutamaan berjabat tangan.
Akan tetapi dikatakan bahwasanya Imam Malik membenci jabat tangan. Dan ini merupakan pendapat Syahnun dan beberapa ulama Malikiyah. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah ta’ala ketika menceritakan salamnya Malaikat kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman, yang artinya: “(Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: ‘Salaamun’ Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (QS. Ad Dzariyat: 25)
Pada ayat di atas, malaikat hanya menyampaikan salam kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan mereka tidak bersalaman. Sehingga Malikiyah berkesimpulan bahwa di antara kebiasaan orang saleh (nabi Ibrahim & para Malaikat) adalah tidak berjabat tangan ketika ketemu, tetapi hanya mengucapkan salam.
Namun, yang lebih tepat, pendapat Imam Malik yang terkenal adalah beliau menganjurkan jabat tangan. Hal ini dikuatkan dengan sebuah riwayat, di mana Sufyan bin ‘Uyainah pernah menemui beliau dan Imam Malik bersalaman dengan Sufyan. Kemudian Imam Malik mengatakan: “Andaikan bukan karena bid’ah, niscaya aku akan memelukmu.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Orang yang lebih baik dari pada aku dan kamu yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memeluk Ja’far ketika pulang dari negeri Habasyah. Kata Malik: “Itu khusus (untuk Ja’far).” Komentar Sufyan: “Tidak, itu umum. Apa yang berlaku untuk Ja’far juga berlaku untuk kita, jika kita termasuk orang saleh (mukmin).” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/13949)
Kesimpulannya, bahwasanya pendapat yang paling tepat adalah dianjurkannya berjabat tangan antar sesama. Mengingat banyak dalil yang menegaskan hal tersebut. Sedangkan adanya pendapat yang menyelisihi hal ini terlalu lemah ditinjau dari banyak sisi.
Keutamaan Berjabat Tangan
Terampuninya dosa
Dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu Daud, 4343)
Dari Hudzifah bin Al Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain, kemudian dia memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.” (Diriwayatkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 525)
Menimbulkan rasa cinta antara orang yang saling bersalaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan suatu perbuatan yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai?” yaitu: “Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim 93)
Jika semata-mata mengucapkan salam bisa menimbulkan rasa cinta maka lebih lagi jika salam tersebut diiringi dengan jabat tangan.
Menimbulkan ketenangan jiwa
Menghilangkan kebencian dalam hati
“Lakukanlah jabat tangan, karena jabat tangan bisa menghilangkan permusuhan.” Tetapi hadis ini didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (Ad Dha’ifah, 1766)
“Lakukanlah jabat tangan, itu akan menghilangkan kedengkian dalam hati kalian.” (HR. Imam Malik dalam Al Muwatha’ dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani)
Terdapat beberapa hadis dalam masalah ini, namun semuanya tidak lepas dari cacat. Di antaranya adalah:
Terlepas dari hadis di atas, telah terbukti dalam realita bahwa berjabat tangan memiliki pengaruh dalam menghilangkan kedengkian hati dan permusuhan.
Berjabat tangan merupakan ciri orang-orang yang hatinya lembut
Ketika penduduk Yaman datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Penduduk Yaman telah datang, mereka adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian.” Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkomentar tentang sifat mereka: “Mereka adalah orang yang pertama kali mengajak untuk berjabat tangan.” (HR. Ahmad 3/212 & dishahihkan Syaikh Al Albani, As Shahihah, 527)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa penduduk Yaman adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada para sahabat. Di antara ciri khas mereka adalah bersegera untuk mengajak jabat tangan.
Mencium Tangan Ketika Jabat Tangan
Ibn Batthal mengatakan:
“Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi mencium tangan ketika bersalaman. Imam Malik melarangnya, sementara yang lain membolehkannya.” (Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Batthal 17/50)
Di antara dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan adalah:
Abu Lubabah & Ka’ab bin Malik, serta dua sahabat lainnya (yang diboikot karena tidak mengikuti perang tabuk) mencium tangan Nabi Shallallhu ‘alaihi wa Sallam ketika taubat mereka diterima oleh Allah. (HR. Al Baihaqi dalam Ad Dalail & Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
Abu Ubaidah mencium tangan Umar ketika datang dari Syam (HR. Sufyan dalam Al Jami’ & disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibn Abbas ketika Ibn Abbas menyiapkan tunggangannya Zaid. (HR. At Thabari & Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
Usamah bin Syarik mengatakan: “Kami menyambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami mencium tangannya.” (HR. Ibn Al Maqri, Kata Al Hafizh: Sanadnya kuat.”)
Dan masih banyak beberapa riwayat lainnya yang menunjukkan bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan. Bahkan Ibn Al Maqri menulis buku khusus yang mengumpulkan beberapa riwayat tentang bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan.
Satu hal yang perlu diingat bahwasanya mencium tangan ini diperbolehkan jika tidak sampai menimbulkan perasaan mengagungkan kepada orang yang dicium tangannya dan merasa rendah diri di hadapannya. Karena hal ini telah masuk dalam batas kesyirikan. (lih. Al Iman wa Ar Rad ‘ala Ahlil Bida’, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaikh)
An Nawawi mengatakan: “Mencium tangan seseorang karena sifat zuhudnya, salehnya, amalnya, mulianya, sikapnya dalam menjaga diri dari dosa, atau sifat keagamaan yang lainnya adalah satu hal yang tidak makruh. Bahkan dianjurkan. Akan tetapi jika mencium tangan karena kayanya, kekuatannya, atau kedudukan dunianya adalah satu hal yang makruh dan sangat di benci. Bahkan Abu Sa’id Al Mutawalli mengatakan: “Tidak boleh” (Fathul Bari, Al Hafizh Ibn Hajar 11/57)
Berdasarkan beberapa keterangan ulama di atas dan dengan mengambil keterangan ulama yang lain, disimpulkan bahwa mencium tangan diperbolehkan dengan beberapa persyaratan:
Tidak sampai menimbulkan sikap mengagungkan orang yang dicium
Tidak menimbulkan sikap merendahkan diri di hadapan orang yang dicium
Karena kemuliaan dan kedudukan dalam agama dan bukan karena dunianya
Tidak dijadikan kebiasaan, sehingga mengubah sunnah jabat tangan biasa
Orang yang dicium tidak menjulurkan tangannya kepada orang yang mencium (keterangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah)
Berjabat Tangan Dengan Lawan Jenis
Masalah ini termasuk di antara kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat yang cukup meruncing. Sebagian mengharamkan secara mutlak, sebagian membolehkan dengan bersyarat, bahkan sebagian berpendapat sangat longgar. Tulisan ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun tidak lebih dari sebatas usaha untuk menerapkan firman Allah: “Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apapun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An Nisa’: 59)
Agar kajian lebih sistematis, pembahasan masalah ini akan diperinci menjadi beberapa bagian:
Pertama, Perbedaan pendapat ulama dalam masalah jabat tangan dengan lawan jenis
Ulama Mazhab Hanafi
Diperbolehkan melakukan jabat tangan dengan persyaratan aman dari munculnya syahwat dari kedua pihak orang yang berjabat tangan. Sehingga mereka membedakan antara yang tua dan yang masih muda. Berdasarkan kemungkinan munculnya syahwat.
Ulama Mazhab Maliki
Mazhab ini secara tegas melarang jabat tangan, dan tidak membedakan antara yang sudah tua maupun yang masih muda.
Ulama Mazhab Syafi’i
Sebagian syafi’iyah membolehkan jabat tangan dengan syarat adanya benda yang melapisi dan aman dari munculnya fitnah atau syahwat yang mengarah pada perzinaan. Sebagian yang lain melarang secara mutlak. Dan pendapat kedua ini adalah pendapat mayoritas Syafi’iyah. Di antaranya adalah An Nawawi dan Ibn Hajar al ‘Asqalani.
Ulama Mazhab Hambali
Dalam mazhab ini ada dua pendapat. Pertama melarang secara mutlak tanpa membedakan antara yang muda, yang tua dan yang kedua memakruhkan jika dilakukan dengan yang sudah tua.
Pendapat yang lebih kuat, akan disimpulkan di akhir pembahasan ini.
Kedua, Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjabat tangan dengan wanita?
Dari Umaimah binti Raqiqah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sekelompok wanita yang membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk islam. Para wanita itu mengatakan: “Wahai Rasulullah, kami berbaiat (berjanji setia) kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kami, tidak berbohong dengan menganggap anak temuan sebagai anak dari suami, dan menaatimu dalam setiap perintah dan laranganmu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Dalam masalah yang kalian bisa dan kalian mampu.” Para wanita itu mengatakan: “Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menyayangi kami dari pada diri kami sendiri, mendekatlah, kami akan membaiatmu wahai Rasulullah!
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram), ucapanku untuk seratus wanita itu sebagaimana ucapanku untuk satu wanita.” (HR. Ahmad 6/357 & disahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 2/64)
A’isyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan: “Jika ada wanita mukmin yang berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengujinya, berdasarkan firman Allah dalam surat Al Mumtahanah ayat 10. “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka… Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan baiat, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah baiat mereka…” (QS. Al Mumtahanah: ayat 10 s/d ayat 12)
Kata A’isyah radhiyallahu ‘anha: “Wanita mukmin yang menerima perjanjian ini berarti telah lulus ujian. Sementara jika para wanita telah menerima perjanjian tersebut secara lisan maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka: ‘Pergilah, karena aku telah menerima baiat kalian’. Dan demi Allah! Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyentuh tangan wanita (tersebut) sedikitpun. Beliau hanya membaiat dengan ucapan.” (HR. Al Bukhari, 7214)
Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita ketika baiat.” (HR. Ahmad 2/213 & dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah 530)
Riwayat-riwayat secara tegas menunjukkan bahwa baiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita adalah secara lisan, dan tidak dengan berjabat tangan. Hadis ini sekaligus menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan jabat tangan dengan wanita asing di selain momen baiat. Hal ini dapat dipahami melalui dua alasan:
Pertama, Karena Baiat adalah peristiwa sangat penting dalam sejarah hidup seseorang. Momen baiat merupakan momen yang sangat mendesak untuk diiringi dengan jabat tangan. Karena ini akan lebih menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam baiat. Oleh karena itu, para wanita yang berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengajak beliau untuk berjabat tangan. Namun demikian, Beliau menolaknya. Artinya, terdapat faktor pendorong yang sangat kuat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan dengan wanita asing.
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah, manusia yang ma’shum (terjaga dari kesalahan), sehingga sangat kecil kemungkinan munculnya niat jahat dalam batin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika harus berjabat tangan dengan wanita. Artinya, faktor penghalang yaitu munculnya niat jahat, sehingga menyebabkan jabat tangan ini menjadi perbuatan maksiat karena diiringi dengan syahwat tidaklah ada. Lengkap sudah posisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan. Ada faktor pendorong yang kuat dan tidak adanya faktor penghalang. Namun demikian, beliau tidak bersedia melakukan jabat tangan dengan wanita asing. Semua ini menunjukkan bahwasanya bagian dari syariat beliau adalah meninggalkan jabat tangan dengan wanita asing.
Ringkasnya adalah sebagaimana yang dinukil dari Ibn ‘Athiyah dan At Tsa’labi: ulama sepakat bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuhkan tangannya dengan wanita yang bukan mahramnya sama sekali. Dengan adanya nukilan ijma’ ini, diharapkan bisa memutus segala perselisihan apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan jabat tangan dengan wanita ataukah tidak. Dengan demikian, semua hadis yang secara tidak jelas mengisyaratkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berjabat tangan dengan wanita, dikembalikan pada kesimpulan tegas ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita asing.
Ketiga, Apakah sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram?
Ulama ushul menyatakan bahwa sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram secara mutlak. Tetapi hanya menunjukkan hukum makruh.
Al Jas-shas mengatakan: “Pendapat kami tentang sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan sama dengan pendapat kami tentang status perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata.” (Al Ushul, 1/210)
As Syaukani mengatakan: “Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan statusnya untuk diikuti sebagaimana sikap beliau dalam melakukan suatu berbuatan.”
Artinya, semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menunjukkan hukum sunah, sebagaimana semata-mata sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Pendapat ini dinisbahkan kepada Imam As Syafi’i, oleh karena itu banyak diikuti oleh ulama mazhabnya. Di antaranya adalah Al Juwaini, Abu Hamid Al Ghazali, As Shairafi. Pendapat ini juga yang dipilih oleh sebagian Hanafiyah dan adalah satu pendapat Imam Ahmad yang kemudian dipilih oleh Abul Hasan At Tamimi, Al Fakhr Isma’il, dan Abu Ya’la Al Farra’.
Abu Syamah Al Maqdisy mengatakan: “Ini adalah pendapat para peneliti di antara ahli hadis. Penulis kitab Al Hawi mengatakan: “ini adalah pendapat kebanyakan ulama’” (Af’alur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, 66). (lihat Keterangan di atas dalam Mushafaha Al Ajnabiyah fi mizanil Islam, 67)
Kesimpulan:
Berdalil dengan hadis-hadis yang menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berjabat tangan dengan wanita asing tidak cukup untuk menghukumi haramnya berjabat tangan dengan wanita. Karena semata-mata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Untuk menegaskan hukum haram, memerlukan dalil khusus yang menegaskannya. Lalu, apakah ada dalil tegas yang melarang perbuatan tersebut?
Keempat, Hadis-hadis yang secara tegas melarang jabat tangan dengan lawan jenis:
Pertama, Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada dia menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.” (HR. At Tabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 20/212/487 & Ar Ruyani dalam Al Musnad, 2/323/1283)
Hadis ini dibawakan oleh At Thabrani dengan sanad berikut: Dari Abdan bin Ahmad, dari Ali bin Nashr, dari Syaddad bin Said, dari Abul Ala’, bahwasanya Ma’qil bin Yasar mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: …
Andaikan hadis ini shahih maka cukup untuk menjadi pemutus perselisihan ulama dalam masalah ini. Sehingga siapapun yang berpendapat sebaliknya, layak untuk digelari dengan pengekor hawa nafsu. Namun hadis ini memiliki cacat. Berikut keterangan selengkapnya: Keterangan ulama tentang status hadis ini:
Ibn Hajar Al haitami mengatakan: “Sanadnya sahih.” (Az Zawajir, 368)
Al Hafizh Al Haitsami mengatakan: “Perawinya adalah para perawi kitab shahih.” (Al Majma’uz Zawaid, 7718)
Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadis ini sanadnya jayyid” (As Shahihah, 1/447)
Muhammad Abduh Alu Muhammad Abyadh menjelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut: “Semua perawi hadis ini adalah perawi yang terdapat dalam Al Bukhari & Muslim. Kecuali Syaddad bin Sa’id. Beliau hanya terdapat dalam shahih muslim dan hanya meriwayatkan satu hadis saja dalam shahih Muslim. Sebagian ulama, semacam Ahmad dan Ibn Ma’in menganggap Tsiqah perawi ini. Namun Al Bukhari mengatakan tentang perawi ini: “Shaduq namun hafalannya agak rusak.”… Ibn Hibban mengatakan: “Terkadang keliru.”
Sedangkan riwayat Syaddad bin Sa’id menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqah, sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Basyir bin Uqbah dari Abul ‘Ala, dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, secara mauquf (perkataan Ma’qil bin Yasar dan bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ma’qil mengatakan: “Kalian bersengaja membawa jarum kemudian menusukkannya ke kepalaku, itu lebih aku sukai dari pada kepalaku dimandikan oleh wanita yang bukan mahram. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 3/15/17310)
Sementara Basyir bin Uqbah adalah perawi yang terdapat dalam shahih Al Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, riwayat Basyir bin Uqbah lebih didahulukan dari pada riwayat Syaddad bin Sa’id.” (Mushafahah Al Ajnabiyah hal. 30, dikutip dengan sedikit penyesuaian)
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa riwayat di atas bukanlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi perkataan sahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu.
Kedua, Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ditetapkan (ditakdirkan) bagi setiap anak Adam bagian dari perbuatan zina. Pasti dia alami dan tidak bisa mengelak. Dua mata zinanya melihat, dua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya berbicara, tangan zinanya menyentuh, kaki zinanya melangkah, hati zinanya berangan-angan, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakan itu semua.” (HR. Muslim 6925)
Beberapa keterangan untuk hadis ini:
An Nawawi mengatakan: “Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan. Di antara mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal yang haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan usaha-usaha untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya…” (Syarh Shahih Muslim, 8/457)
Ibn Hibban memasukkan hadis ini dalam kitab Shahihnya. Beliau meletakkan hadis ini di bawah judul: “Bab Penggunaan istilah zina untuk tangan yang menyentuh sesuatu yang tidak halal.” (Shahih Ibn Hibban, 10/269)
Dalam kesempatan yang lain, Ibn Hibban memberikan judul: “Bab, digunakan istilah zina untuk anggota badan yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan cabang dari perzinaan.” (Shahih Ibn Hibban, 10/367)
Penamaan judul Bab dalam kitab shahihnya yang dilakukan Ibn hibban di sini menunjukkan bahwa beliau memahami bahwa kasus pelanggaran yang dilakukan anggota tubuh yang mengantarkan zina adalah bentuk perbuatan zina. Karena penamaan judul bab para penulis hadis adalah pernyataan pendapat beliau.
Al Jas-shas mengatakan: “Digunakan istilah zina untuk kasus ini dalam bentuk majaz (bukan zina sesungguhnya dengan kemaluan, -pen).” (Ahkam Al Qur’an, 3/96)
Kesimpulannya, istilah zina bisa digunakan untuk semua anggota badan yang melakukan pelanggaran, karena perbuatan tersebut merupakan pengantar terjadinya perzinaan. Sedangkan zina yang hakiki adalah zina kemaluan.
Dengan hadis kedua ini (hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) dapat disimpulkan bahwa jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram dengan disertai syahwat adalah perbuatan haram baik oleh orang muda maupun tua, karena perbuatan ini termasuk bagian perbuatan zina.
Ketiga: Penjelasan Sinqithi yang berdalil dengan perintah untuk menundukkan pandangan.
Allahu a’lam…
***
Langganan:
Postingan (Atom)