Rabu, 15 Oktober 2008

Jangan Bersedih...

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.





Alhamdulillah, segala puji hanya bagi-Nya. Dia-lah Rabb kita, Yang Menciptakan, Memberi Rizki dan Mengatur urusan hamba-Nya. Dia-lah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Segala sesuatu kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, tidak sepatutnya bersedih. Mengapa? Karena kita punya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Zat yang mengatur urusan hamba-Nya.


Shalawat serta salam semoga tercurah kepada sebaik-baik pendidik, yang telah mengajari kita untuk memaknai kehidupan dengan pemaknaan fitri (sesuai dengan fitrah). Sehingga dengan pemaknaan itu kita dapat merasakan kehidupan yang indah. Dialah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam. Shalawat kepadanya, kepada sahabatnya, keluarganya, serta umatnya yang meniti jalan kebahagiaan dunia akhirat.




Bersedih, Bolehkah?

Pada momen tertentu kesedihan memang tidak dapat dihindari dan seseorang terpaksa harus bersedih karena suatu kenyataan. Oleh karena itu, ketika seorang hamba ditimpa kesedihan hendaknya ia senantiasa melawannya dengan doa-doa dan sarana-sarana lain yang memungkinkan untuk mengusirnya.

Doa-doa untuk mengobati kesedihan dapat dibaca dalam Hisnul Muslim”, karya Dr. Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani. Adapun sarana-sarana lain untuk mengusir kesedihan akan kita ikuti ulasannya beberapa saat lagi.

Kesedihan yang terpuji — yakni yang dipuji setelah terjadi — adalah kesedihan yang disebabkan oleh ketidakmampuan menjalankan suatu ketaatan atau dikarenakan tersungkur dalam jurang kemaksiatan. Dan kesedihan seorang hamba yang disebabkan oleh kesadaran bahwa kedekatan dan ketaatan dirinya kepada Allah sangat kurang. Maka, hal itu menandakan bahwa hatinya hidup dan terbuka untuk menerima hidayah dan cahaya-Nya.

Contoh konkret kesedihan ini adalah kisah tiga sahabat yang tidak mengikuti perang Tabuk tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Mereka adalah Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah. Mereka merasakan kesedihan yang berlipat-lipat seolah-olah bumi telah menjadi sempit dan jiwa mereka pun terasa sempit.

Sementara itu, makna sabda Rasulullah dalam sebuah hadis shahih yang berbunyi, "Tidaklah seorang mukmin ditimpa sebuah kesedihan, kegundahan dan kerisauan, kecuali Allah pasti akan menghapus sebagian dosa-dosanya," adalah menunjukkan bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan itu merupakan musibah dari Allah yang apabila menimpa seorang hamba, maka hamba tersebut akan diampuni sebagian dosa-dosanya. Dengan begitu, hadits ini berarti tidak menunjukkan bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan merupakan sebuah keadaan yang harus diminta dan dirasakan.

Hal ini nampak dari kesedihan Ummul Mukminin, ‘Aisyah binti Abu Bakar yang merasakan kesedihan luar biasa ketika difitnah serong. Kesedihan yang beliau rasakan merupakan ujian yang Allah berikan kepadanya untuk menambah pahala dan mengangkat derajat beliau. Allah berfirman, “...Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu...” (QS. An-Nuur: 11)

Akan tetapi seorang hamba justru tidak dibenarkan meminta atau mengharap kesedihan dan mengira bahwa hal itu merupakan sebuah ibadah yang diperintahkan, diridhai atau disyariatkan Allah untuk hamba-Nya. Sebab, jika memang semua itu dibenarkan dan diperintahkan Allah, pastilah Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam akan menjadi orang pertama yang akan mengisi seluruh waktu hidupnya dengan kesedihan-kesedihan dan akan menghabiskannya dengan kegundahan-kegundahan. Dan hal seperti itu jelas sangat tidak mungkin. Karena, sebagaimana kita ketahui, hati beliau selalu lapang dan wajahnya selalu dihiasi senyuman, hatinya selalu diliputi keridhaan, dan perjalanan hidupnya selalu dihiasi dengan kegembiraan (lihat Al-Qarni, 2006: 49-50)




Menyibukkan diri dalam kegiatan yang positif

”Bunuhlah setiap waktu kosong dengan 'pisau' kesibukan! Dengan cara itu, dokter-dokter dunia akan berani menjamin bahwa Anda telah mencapai 50% dari kebahagiaan. Lihatlah para petani, nelayan, dan para kuli bangunan! Mereka dengan ceria mendendangkan lagu-lagu seperti burung-burung di alam bebas. Mereka tidak seperti Anda yang tidur di atas ranjang empuk, tetapi selalu gelisah dan menyeka air mata kesedihan” (Al-Qarni, 2006: 15)


Jadilah orang yang bermanfaat untuk orang lain

Bukankah Nabi r telah memberitahu kita bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain? Beliau telah berkata benar, karena beliau adalah Ash-Shadiqul Mashduq (yang berkata benar dan yang dibenarkan).

“Kebutuhan orang lain kepada diri Anda adalah sebuah nikmat, maka jangan pernah bosan menghadapinya, karena bisa berakibat berbalik menjadi bencana. Ketahuilah, bahwa yang terbaik dari hari-hari Anda adalah ketika Anda menjadi tujuan, dan bukan Anda yang menuju orang lain” (Al-Qarni, 2006: 531)




Menyikapi masa lalu, masa kini, dan masa depan

Dalam benak kita, selalu terbayang tentang tiga fase kehidupan, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Menyikapi fase-fase itu merupakan kemampuan yang layak untuk dimiliki bagi orang yang ingin bahagia.

“Jika Anda harus mengingat masa lalu, maka ingatlah masa lalumu yang indah agar Anda gembira. Jika Anda mengingat hari ini, maka ingatlah apa yang telah Anda hasilkan, pasti Anda akan merasa gembira. Dan jika Anda melihat hari esok, maka ingatlah mimpi-mimpi Anda yang indah agar Anda optimis” (Al-Qarni, 2006: 550)

Dr. ‘Aidh Al Qarni, (2006: 254) telah banyak mengkaji banyak buku tentang kecemasan dan gangguan mental dari berbagai bacaan. Semuanya sepakat pada tiga pokok yang harus ditempuh oleh orang yang menginginginkan kesembuhan dan terhindar dari gangguan mental, serta hatinya menjadi lapang. Tiga pokok tersebut adalah:

Selalu mengaitkan hati kepada Allah, menyembah-Nya, taat dan berserah diri kepada-Nya.

Menutup berkas-berkas masa lalu dengan semua kegetirannya dan genangan air matanya, semua kesedihannya dan bencananya, semua kepahitan dan keresahannya. Dan, memulai sebuah kehidupan baru dengan hari yang baru pula.

Membiarkan masa depan yang masih gaib itu, tidak melarutkan diri di dalamnya, dan menjauhkan diri dari segala bentuk ramalan, prakiraan, dan ketidakjelasan. Tapi, hidup dalam lingkup hari ini saja.

Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Aidan (2008: 58-59) menyebutkan dua sikap yang hanya akan memberikan pengaruh yang negatif yaitu pertama, membolik-balik lembaran-lembaran masa lalu, mengingat-ingat kembali peristiwa-peristiwa yang memilukan, kegelisahan, kesedihan dan seterusnya. Dan kedua, memikirkan masa depan, dengan membayangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi dari berbagai kejadian dan masalah, lalu ia pun mulai merasakan ketakutan, kegelisahan, kekalutan, dan kepedihan, padahal semua itu belum terjadi sama sekali!

Beliau –Abdullah bin Abdul Aziz Al-‘Aidan— memberikan sikap bijak untuk menyikapi masa lampau, masa kini dan masa mendatang, yaitu:

Untuk masa lampau, cukuplah kita mengambil pengalaman dan pelajaran dari setiap peristiwa dan kejadian, lalu segera menutup file-file yang menyedihkan dan melipat lembaran-lembaran suram.

Untuk masa mendatang, maka ia adalah rencana yang matang, persiapan sebaik mungkin, disertai musyawarah, istikharah dan isti’anah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar seseorang tidak terjerumus dalam kesalahan yang akan menjadi penyesalan semata.

Untuk masa kini, maka ia adalah medan yang harus menjadi curahan perhatian dan konsentrasi, dengan memanfaatkan semua yang bisa dimanfaatkan...tiap jamnya, tiap menitnya, tiap detiknya, karena itulah yang ada di tangan kita saat ini. Sebaik apa kita bisa memfungsikan masa kini, maka sebaik itu pulalah kita memersiapkan masa mendatang, dengan izin dan bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Untuk menatap masa depan, saya sarankan untuk mengikuti pembahasannya dalam “Jangan Takut Menatap Masa Depan” oleh Abdul Aziz bin Abdullah al-Husaini (Pustaka At-Tazkia).




Be yourself!

”Hiduplah sebagaimana Anda diciptakan; jangan mengubah suara, menganti intonasinya, dan jangan pula merubah cara berjalan Anda! Tuntunlah diri Anda dengan wahyu Ilahi, tetapi juga jangan melupakan kondisi Anda dan membunuh kemerdekaan Anda sendiri” (Al-Qarni, 2006: 16)

Dari uraian di atas, dapat kita bedakan antara plagiat dengan ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam). Di antara keduanya terdapat perbedaan yang besar. Pelaku plagiat mencontoh 100 % apa yang ada pada tokoh yang digandrunginya. Sedangkan pada ittiba’, pelakunya meneladani apa yang menjadi tuntunan Ilahi dan tidak melupakan apa yang telah menjadi potensi dirinya.

”Setiap manusia memiliki kelebihan, potensi dan bakat masing-masing. Dan, salah satu keagungan Rasulullah adalah kemampuannya untuk menempatkan setiap sahabatnya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan kesiapan mereka masing-masing. Ali misalnya, ditempatkan pada posisi kehakiman, Mu'adz dalam masalah keilmuan, Ubay yang menyangkut al-Qur'an, Zaid dalam masalah Faraidh, Khalid ibn Walid dalam persoalan jihad, Hassan dalam masalah syair, dan Qais ibn Tsabit dalam orasi.” (Al-Qarni, 2006: 115)




Jangan bersedih karena Anda adalah orang yang beriman

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl: 97)




Jangan bersedih karena Anda tidak dalam keadaan bermaksiat kepada-Nya

”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta" (QS. Thaha: 124).




Berbahagialah sekarang, Jangan tunggu besok ataupun lusa

“Orang yang menangguhkan kebahagiaan hingga anaknya yang hilang kembali, samapi rumahnya dibangun, dan hingga mendapatkan pekerjaan yang sesuai, maka ia tertipu oleh fatamorgana dan terperdaya oleh mimpi-mimpi di siang bolong” (Al-Qarni, 2006: 559)




Carilah pekerjaan yang sesuai dengan minat

Ibnu Taimiyyah pernah berkata, “Saya pernah jatuh sakit. Dokter yang mengobatiku berkata, ‘Membaca dan memberi ceramah ilmiah akan membuat sakitmu lebih parah.’ Saya katakan kepadanya, ‘(Tapi) saya tidak tahan untuk menghentikannya. Sekarang saya akan mengkritisi ilmu Anda sendiri, bukankah ketika jiwa bahagia dan gembira, badan menjadi lebih kuat dan tidak mudah terserang penyakit?’ Jawabnya, ‘Ya memang.’ Lalu saya katakan lagi kepadanya, ‘Akan halnya dengan jiwaku mendapatkan kegembiraan dengan ilmu, dan karenanya tubuh saya menjadi kuat. Saya mendapatkan kebahagiaan di situ.’ Jawabnya, ‘(Tapi) ini di luar kemampuan pengobatan kami’.” (Al-Qarni, 2006: 437)




Mengapa Sahabat Rasulullah Berbahagia?

Pola hidup sederhana dan tidak memaksakan diri.

Ilmu mereka luas, penuh berkah, dan praktis. Ilmu mereka bukan retorika belaka dan amat jelas—tidak berbelit-belit.

Bagi mereka, amalan hati jauh lebih berat daripada ibadah fisik.

Mereka sengaja mengurangi kenikmatan dunia.

Mereka menempatkan jihad sebagai amalan di atas amalan yang lain (lihat Al-Qarni, 2006: 182-183)

Tidak ada komentar: