Mahasiswa boleh merasa berbangga dengan predikat-predikat yang dilekatkan kepada mereka. Agent of change, penerus bangsa, reformator atau predikat lainnya. Mereka juga boleh berbangga dengan berbagai penelitian mereka, dengan teori-teori dan metode ilmiah yang mereka pelajari, banyak permasalahan yang terselesaikan. Mereka juga boleh berbangga karena ditengah masyarakat mahasiswa dikenal sebagai sosok-sosok nan cerdas, ilmiah, kritis serta berani.
Mahasiswa yang di daulat sebagai Agent Of Change, mereka pun cukup peka terhadap isu-isu krusial. Mereka cepat tanggap memberi respon terhadap gejolak-gejolak sosial. Dalam sekejap mereka berubah menjadi manusia-manusia yang super kritis yang tidak berhenti bertanya ‘mengapa begini?’, ‘mengapa begitu?’, ‘padahal khan seharusnya begini…’, ‘padahal khan nyatanya begitu…’
Namun ironisnya melihat fakta di sekitar kita, dalam perkara agama, mahasiswa seolah kehilangan tajinya. Tatkala mereka di ajari pak kyai dzikir-dzikir aneh, mereka patuh saja. Tatkala pak haji mengajari cara shalat yang (ternyata) salah, mereka hanya bisa manut saja. Ketika ada pak ustadz mengajarkan amalan-amalan bid’ah, mereka ikut saja. Sewaktu ada ‘murobbi’ yang gemar memberi fatwa serampangan, mereka pun hanya bisa mengamini. Tatkala ada aktifis partai berlabel Islam yang menggiring mereka ke jalan untuk berteriak-teriak dan membuat macet jalan, mereka pun berbaris teratur mematuhinya. Kemana sifat cerdas, kritis, ilmiah dan berani di dada mereka? Tidak adalagi pertanyaan ‘mengapa begini?’, ‘mengapa begitu?’, ‘apa dasarnya? ‘, ’apa dalilnya? ’
Islam adalah agama yang ilmiah
Allah Ta’ala berfirman:
ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسئولا
Artinya: “Janganlah engkau mengikuti apa yang tidak kamu ketahui . Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan dimintai pertanggungjawaban” [Al Isra: 36]
Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat ini: “Janganlah engkau mengikuti apa yang tidak kamu ilmui, namun seharusnya tatsabbut (cek dan ricek) dalam setiap perkataan dan perbuatanmu ” [Tafsir As Sa’di]. Subhanallah, bukankah ini metodologi ilmiah? Ketika seseorang menyatakan sebuah statement ilmiah dalam forum ilmiah, tentu dia akan dipertanyakan adakah penelitian yang mendukung statement tersebut? Teori apakah yang mendasari statement tersebut? Jangan asal bicara! Kira-kira demikian. Maka demikian juga dalam beragama yang benar, harus memiliki dasar, memiliki landasan teori, yaitu ilmu syar’I yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah. Jika seseorang yang berbicara serampangan tanpa dasar ilmiah dalam perkara duniawi saja akan dimintai pertanggungjawaban, maka tentu berbicara atau berbuat serampangan tanpa dasar dalam masalah agama lebih besar pertanggungjawabannya.
Kemudian apa yang terjadi jika seorang mahasiswa fakultas Matematika yang membuat penelitian dengan mengambil beberapa teori dari seorang ahli sastra terkemuka?? Jelas tidak relevan dan penelitiannya layak untuk ditolak. Atau ia mengambil teori dari seorang doktor di bidang Matematika namun terkena kasus pemalsuan thesis?? Maka penelitian tersebut pun akan diragukan. Lihatlah, dalam metodologi ilmiah ternyata memperhatikan sumber pengambilan referensi. Semakin kompeten sumber referensi yang diambil, akan semakin bermutu penelitian yang dibuat.
Demikian juga dalam beragama, metode(manhaj) beragama yang paling benar dan lurus adalah yang merujuk pada orang-orang paling mengetahui dan ahli dalam agama ini. Orang yang berada di urutan teratas adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, karena beliaulah manusia yang paling tahu tentang agama yang dibawanya. Setelahnya adalah para sahabat radhiallahu’anhum ajma’in, seperti Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar Bin Khattab,Utsman Bin Affan dan yang lain. Karena merekalah yang mengambil ilmu langsung dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan ajaran yang dibawa beliau. Urutan selanjutnya adalah para tabi’in, seperti Hasan Al Bashri, Sufyan Ats Tsauri, Abdullah bin Mubarok, Sa’id bin Musayyab, dan yang lain. Karena mereka yang mengambil ilmu langsung dari para sahabat. Dan selanjutnya adalah jalannya orang-orang yang mengikuti mereka seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah, Imam Asy Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal, dan yang lain. Demikianlah, hal ini berdasar hadits :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku ( para sahabat ) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya ( tabiu’t tabi’in )” [HR. Bukhari-Muslim]
Para ulama Islam dari dahulu hingga sekarang adalah orang-orang yang cermat dan berhati-hati dalam pengambilan sumber ilmu. Misalnya dalam periwayatan hadits, Ibnu Sirin dalam Shahih Muslim berkata:
ان هذا العلم دين, فانظرواعمن تأخذوندينكم
“Sesunggunya ilmu hadits ini adalah bagian dari agama, maka perhatikanlah dari siapa engkau mengambilnya”
Berbeda dengan Yahudi dan Nasrani yang tidak memperhatikan sanad (jalur periwayatan) terhadap ilmu-ilmu dalam agama mereka. Sehingga mereka pun menyimpang jauh dari kebenaran, karena mengambil ilmu dari sumber-sumber yang tidak dikenal dan tidak dipercaya. Maka sanad adalah bukti bahwa Islam adalah agama yang ilmiah. Sampai-sampai Sufyan Ats Tsauri berkata:
الإسناد سلاح المؤمن
“Sanad adalah senjata seorang mu’min”
Walhasil, sebagian kaum muslimin yang beragama dengan tanpa sandaran, tanpa rujukan, hanya ikut perkataan ustadz, hanya manut pada kyai, berdalil dengan ‘katanya…..’, berdalil dengan ‘menurut saya…’, berdalil dengan ‘saya rasa….’, sungguh mereka telah menginjak-injak keilmiahan Islam. Dan mahasiswa, yang disifati sebagai orang yang ilmiah dan intelektualis, sepatutnya tidak demikian.
Orang jenius dan Islam
Masih ada orang yang beranggapan bahwa orang-orang yang ‘alim, yang memiliki perhatian dan menyibukkan diri dengan agama adalah orang-orang yang kuno, kurang pandai, ber-IQ rendah, tidak mengerti ilmu eksakta sehingga orang-orang yang ingin dikatakan ‘intelek’ pun menjauhi belajar agama.
Tentu ini tidak benar. Setelah kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang ilmiah, maka konsekuensinya, dalam mendalami dibutuhkan orang-orang yang bisa melakukan metodologi ilmiah, dan yang demikian hanya bisa dilakukan oleh orang yang pandai, cerdas serta ‘encer’ otaknya.
Dan sejarah telah membuktikan bahwa para ulama Islam sejak dahulu hingga sekarang adalah orang-orang yang pandai, cerdas bahkan jenius! Lihatlah Imam Bukhari rahimahullah, begitu kuat hafalannya sehingga saat ada 10 orang ahli hadits yang masing-masing menyebutkan 10 hadits dengan urutan sanad yang sengaja di kacaukan, beliau dapat menyebutkan urutan sanad yang benar dari 100 hadits tersebut! Sufyan Ats Tsauri saking kuat hafalannya ia sampai berkata, “Saya melewati penjahit di pasar sambil menutup telinga saya, karena khawatir menghafal apa yang ia katakan” [Lihat di Siyar ‘Alamin Nubala, 7/222, dinukil dari Kayfa Tatahammas]. Dan betapa banyak diantara mereka yang hafal Al Qur’an di usia dini.
Perhatikanlah wahai mahasiswa, ni’mat Allah yang telah berikan kepadamu berupa kecerdasan dan kepandaian, sudah digunakan untuk apa? Semoga Allah merahmati para ulama yang telah mensyukuri ni’mat kecerdasan dan kepandaian yang mereka miliki dengan menggunakannya untuk mendalami ilmu agama dan menda’wahkannya kepada ummat secara ilmiah.
لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد
Artinya: “Jika kalian bersyukur sungguh akan Kami tambahkan ni’mat kepada kalian. Namun jika kalian ingkar sungguh azab-Ku sangatlah pedih” [Ibrahim: 3]
Mahasiswa Bangkitlah!
Ditengah banyaknya ‘pembodohan’ dalam beragama di tengah masyarakat, dibutuhkan sosok-sosok yang dapat membebaskan mereka dari ‘pembodohan’ tersebut. Dikala masyarakat banyak dipengaruhi para ustadz, kyai dan da’i yang mengajarkan Islam secara serampangan dan tanpa dasar, dikala banyak aliran-aliran yang mengajak pengikutnya untuk bertaqlid buta sehingga menciptakan banyak friksi dalam masyarakat Islam, dikala kelompok liberal mengajak ummat untuk ‘murtad’ secara halus, maka dibutuhkan pribadi-pribadi yang pandai nan cerdas, yang merujuk pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan metodologi ilmiah untuk membebaskan dari ‘pembodohan’ tersebut. Jika memang benar klaim bahwa mahasiswa adalah manusia-manusia yang ilmiah, kritis, cerdas dan berani, maka nampaknya merekalah yang cocok untuk mengemban tugas ini.
Islam adalah agama yang ilmiah, dan untuk berislam dengan benar memang harus ilmiah. Belajar Islam yang benar pun butuh kepandaian dan kecerdasan. Maka sudah sepatutnya para mahasiswa muslim untuk bangkit menegakkan dien mereka, tidak hanya berkutat pada hal-hal duniawi belaka. Sudah sepatutnya mereka memutar otak mereka, tidak hanya untuk ‘urusan perut’ belaka, melainkan hal yang lebih besar dan penting yaitu memikirkan bagaimana nasibnya di akhirat kelak. Yaitu dengan menempuh jalan beragama yang benar. Ya, bangkitlah mahasiswa!
Dan langkah pertama untuk kebangkitan itu adalah: belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar